Saatnya
memulai hidup baru. Yayasan besar yang menaungi tempatku bekerja memberikan
kepercayaan penuh padaku untuk mengelola sebuah PAUD yang baru dibangun di
salah satu kabupaten. Bonusnya, aku diperbolehkan membuka sebuah TPA yang dana
dan perizinannya masih dinaungi oleh yayasan yang sama. Setelah tanda tangan
kontrak, aku buru-buru pulang kampung untuk memberitahu Ayah dan Bunda. Mereka
tentu saja tersenyum bahagia. Fiya kecil yang bengal dan susah diatur, kini
menjadi tenaga pendidik yang berprestasi.
Semenjak
pernikahan Sirhan dua bulan lalu, aku belum pernah pulang meski biasanya
terjadwal 2 minggu sekali. Kali ini pun, hanya karena mendapat kabar dari Bunda
bahwa ia sudah menetap di Banjarmasin bersama istrinya untuk mengajar di salah
satu universitas negeri. Kadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri,
masihkah ada sekeping rasa untuknya? Entahlah. Sampai saat ini, aku masih saja
berusaha meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja. Ada dia ataupun tidak,
toh aku masih bisa menjadi seorang yang berarti. Hidup sebenarnya ada di luar
sana, berlomba mendedikasikan diri untuk orang banyak, bukan berlomba mengambil
hati salah seorang yang dikagumi orang banyak.
Ah,
lupakanlah! Aku hari ini bahagia. Betapa adilnya memanjakan diri sejenak untuk
rileks tanpa dikekang oleh pemikiran-pemikiran berat yang tak lagi ada artinya.
Mengunjungi ekspo sastra barangkali pilihan yang tepat mengingat kotaku yang
kecil tak punya banyak tempat hiburan. Karena tak ada teman yang bisa diajak,
aku berkunjung sendirian. Tiba di salah satu stand pameran, aku berhenti untuk melihat naskah-naskah yang
dipajang di balik lemari kaca. Disana, kurasakan seseorang memegang tanganku.
“Fiya???”
Aku
menoleh refleks. Tampak seorang wanita empat puluhan di belakangku.
“Tante
Ira?” aku menyapa dengan terbata-bata saking terkejutnya.
Wanita
ini tersenyum ramah. Nampaknya ia begitu bahagia melihatku kembali setelah
sekian tahun tak pernah lagi mengunjunginya. Pasalnya, ia seketika mengecup
kedua pipiku setelah aku menyalami dan mencium tangannya. Aku malu dan merasa
sangat tidak nyaman.
“Ya
ampun, Fiy…! Kamu kemana aja sih? Tante kangen banget!” ia mengucapkannya
seraya menggenggam erat tanganku.
Belum
sempat aku menjawab apapun, ia mengajakku keluar dari kerumunan dan mencari
tempat di luar ruangan. Setelah menemukan bangku panjang di taman kota, kami
duduk bercengkrama.
“Nggak
bosan ya tiap hari ngurusin anak-anak sekecil itu?”
“Malah
asyik kok, Tan,” jawabku.
“Iya
ya? Tante baru ingat kalau Fiya suka anak kecil. Yasmin aja dulu kepincut,”
kenang Tante Ira sambil tertawa.
“Eh
gimana Yasmin sekarang, Tan? Udah kelas berapa?” aku teringat putri bungsu
Tante Ira yang dahulu senang mengajakku bermain puzzle.
“Udah
kelas tiga SMP. Dia juga kangen tuh sama Fiya.”
Aku
tersenyum maklum. Tujuh tahun telah berlalu selepas SMA. Selama itu, aku tidak
lagi pernah bertemu keluarga ini.
“Kapan-kapan
main ke rumah ya, Fiy? Temui Yasmin. Nanti pas ada Sora juga Tante bakal
kenalin sama kamu.”
Sora?
Istri
Sirhan kah?
Tante
Ira tak melanjutkan kalimatnya. Karena khawatir ia akan mencurigai sesuatu, aku
mencoba mencairkan suasana.
“Ciyeee…
Tante Ira udah punya mantu.”
“Ah
biasa aja kok,” jawabnya datar. Kukira sebelumnya, ia akan tersenyum senang. “Cantikan
juga Fiya.”
Aku
terperanjat. Sama sekali aku tidak berani meraba arah pembicaraannya.
“Gelarnya
sudah MBA, Fiy. Dia teman Sirhan waktu S-2.”
Oh,
begitukah? Hebat! Dia pantas bersanding dengan Sirhan.
“Wah,
sepertinya dia perempuan lulusan luar negeri pertama di kota kita, Tan,”
takjubku.
Tante
Ira tersenyum tipis. “Tante nggak akan membangga-banggakan status, Fiy. Buat
Tante yang penting sholehah.”
Aku
menelan ludah.
“Pasti
sholehah kan, Tante? Sirhan nggak akan sembarang pilih,” gumamku lebih kepada
diri sendiri.
“Nggak
tepat begitu juga sih, Fiy.”
Aku
menatapnya seketika. Ia pun melanjutkan, “Sebelum menikah, dia nggak bisa pakai
jilbab dengan benar. Sebentar-sebentar dipasang, sebentar-sebentar dilepas.
Waktu Tante tanya, anak itu janjinya malah berjilbab dengan baik setelah nanti
menikah. Loh? Tante kan nggak sreg jadinya, Fiy.”
“Tapi
sekarang udah nggak begitu lagi kan?” aku mencoba menghindari konflik. Obrolan
Tante Ira bukan lagi sekedar cengkrama biasa.
“Masalah
menutup aurat itu hal yang serius. Kalau maunya setelah menikah, lalu tujuan
berjilbabnya itu untuk menutup aurat atau cuma pengen dapetin Sirhan doang?”
Aku
terperangah. Tante Ira mengucapkannya dengan nada yang meninggi. Sebagai orang
luar yang tak seharusnya mengetahui masalah rumah tangga orang lain, aku tak
berani menanggapi.
“Padahal
sebelum lamaran, Tante udah nanyain Sirhan berkali-kali. Dia serius nggak sama
perempuan itu? Tante suruh istikharah sering-sering malah. Jawabnya, ‘Entar
diperbaiki, bisa aja kok.’ Kalau berjilbab aja masih sering bongkar pasang,
Tante nggak yakin dia bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak Sirhan kelak.
Belum lagi sama Yasmin sering nggak cocok. Fiya kan tahu, sejak kecil Yasmin
banyak bicara. Kalau ketemu orang yang nggak biasa dikritik, ya kacau,”
lanjutnya. Ia lantas menatap lurus ke arahku.
“Coba
kayak Fiya. Tante pasti nggak akan secerewet itu.”
Ya
Rabb, kalau saja Tante Ira tahu seperti apa aku yang dulu sebelum mengenal
putranya, tidakkah ia lebih antipati?
“Biarkan
Sirhan memilih masa depannya sendiri, Tante,” aku ingin menyudahi semuanya.
“Ya
nggak gitu sih, Fiy. Tante juga nggak bisa maksa karena walau bagaimanapun, Sirhan
juga yang menjalani semuanya. Tapi…,” Tante Ira menggantung kata-katanya
sebelum berkata dengan tegas, “Tante rasa Sirhan tidak selektif memilih
pasangan!”
Aku
menghembuskan nafas dengan kesal. Ia sudah melibatkanku terlalu banyak.
“Dia
sudah dewasa, Tan.”
“Sirhan itu sederhana, Fiya. Tante nggak mau
aja kalau suatu saat istrinya minta yang macam-macam….”
“Tante…,”
aku segera memotong pembicaraannya. Kuganggam tangannya lembut dan mencoba menenangkan, “Allah pasti kasih yang terbaik buat
Sirhan. Fiya pernah dekat sama Sirhan, Tan. Fiya tahu persis, Sirhan nggak
sembarangan memilih. Dia pasti tahu yang terbaik buat dirinya, buat Tante, Om,
Yasmin, bahkan buat masa depannya nanti.”
Tante
Ira menatap mataku dan perlahan tersenyum.
“Kamu
masih seperti yang dulu, Fiy, selalu bisa buat hati Tante tenang,” ucapnya
seraya membalas genggaman tanganku.
“Sekarang
yang penting Tante doakan yang terbaik buat mereka ya? Sepanjang hidupnya, Sirhan
tetap membutuhkan doa Tante.”
Tante Ira mengangguk. Sejenak kemudian
ia mengabaikanku untuk menerima panggilan di handphone-nya.
“Sudah di taman ya? Iya, Mama tunggu
di dekat air mancur ya?”
“Tante dijemput Yasmin? Kebetulan.
Fiya pengen banget ketemu,” celotehku riang.
“Bukan Yasmin, Fiy. Sirhan.”
Sirhan?
Tidakkah
ia sekarang berada di Banjarmasin?
Aku segera meraih tasku dan berdiri.
“Tan, Fiya duluan boleh? Bunda pasti sudah menunggu.”
Akan tetapi, dengan sigap Tante Ira
menarik tanganku. “Say hello sama
Sirhan dulu.”
“Titip salam aja deh, Tan. Fiya buru-buru.”
Tante
Ira tidak memaksa. Ia melepaskan tanganku sambil ikut berdiri. Aku segera pamit
dan menyalaminya. Namun terlambat! Tepat saat aku ingin pergi, Tante Ira
menyapa seseorang yang tak ingin kutemui itu. Rupanya, ia sudah berada di
belakangku. Aku merasa sangat tak beruntung. Tapi walau bagaimanapun, aku tetap
berusaha bersikap wajar saat Tante Ira memintaku menghadapinya, sekedar untuk
saling menyapa.
“Han,
masih ingat Fiya?”
Tak
ada jawaban. Aku mengambil alih suasana dengan memberanikan diri mengangkat
wajahku dan tersenyum sekedarnya. Lebih tepatnya, senyum yang kaku dan
terpaksa. Itu pun, pandanganku tak tertuju padanya.
“Halo,
Fiy?” sapa Sirhan lirih. Ada nada keraguan dalam getaran suaranya. Rasanya, aku
tak mempercayai pedengaranku sendiri. Setelah sekian lama, suara baritonnya
cukup menggema keras di telinga. Aku tak berani mencuri pandang ke arahnya
meski hanya sekilas. Aku memahami dengan baik konsep memelihara pandangan. Jika
dilanggar meski hanya satu detik, kenangan lama yang sudah bertahun-tahun
berusaha kutumpuk dengan susah payah akan dengan mudah kembali muncul.
“Fiya baru saja tanda tangan kontrak sebagai
pengelola PAUD dan TPA di Tanah Laut, Han. Dia guru yang hebat,” puji Tante Ira
seraya merangkulku. Aku tersenyum seadanya.
“Ohya?
Alhamdulillah. Selamat ya, Fiy?” ucap Sirhan yang kedengarannya terpaksa.
“Ehm…,
Fiya pulang dulu ya, Tante?” pamitku tanpa basa-basi. Tante Ira mengangguk
ramah.
“Jaga
diri baik-baik ya, Fiy? Tante sayang kamu.”
Ah,
sekali lagi Tante Ira membuatku merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak? Sirhan
berdiri tepat di depan kami. Padanya, aku pun pamit dan mengucap salam seraya
berharap ia tak memikirkan apapun.
Seperti
saat bertemu, Tante Ira juga mencium pipiku di kanan dan kiri, kali ini
ditambah dengan kecupan di kening. Entah rasa apa yang bereaksi di dalam dada. Tiba-tiba
ada air mata yang mendesak keluar. Khawatir terbaca, aku melangkah cepat
meninggalkan taman kota. Terekam kembali fragmen lama saat pertama kali Sirhan
menghampiriku di tepi jalan setelah Rafi memperlakukanku dengan kasar. Sirhan
yang tidak pernah tenang melihatku terganggu oleh sikap buruk Rafi. Mungkin,
bukan karena ia sedemikian mengistimewakanku di atas gadis-gadis lain. Tidak
seperti pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ia lelaki sempurna yang
terpikat oleh pesona gadis bodoh. Sirhan tak seburuk itu, sebab aku tahu
bagaimana ia memegang prinsipnya. Ia hanya ingin memperbaiki yang belum benar.
Padaku, ia ajari caranya mengenal Tuhan. Fiya yang semula demikian hancur, tak
berharga, jauh dari Tuhannya, kini tak lagi sama. Salahkah jika ia hadir dalam kehidupan
Sora untuk mengajarkan hal yang sama? Mungkin, seperti halnya dirinya, Sirhan
inginkan aku memperbaiki yang lain sebisaku.
Baiklah. Aku tak menentang bahwa
semua yang diputuskan oleh-Nya sudah sesuai dengan porsinya. Terima kasih sudah
menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menjadikanku lebih berharga, Han.
Di bawah gerimis yang penuh rahmat
Banjarbaru, 18 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment