handphone-tablet
Kajian.Net
Aku sudah siap dengan semangat baru, menapak jalan terjal untuk mencari ilmu, menelusuri halang rintang untuk menyongsong indahnya masa depan.

Friday, May 2, 2014

Cerpen "Complete Me Completely" (Part 3 End)



Saatnya memulai hidup baru. Yayasan besar yang menaungi tempatku bekerja memberikan kepercayaan penuh padaku untuk mengelola sebuah PAUD yang baru dibangun di salah satu kabupaten. Bonusnya, aku diperbolehkan membuka sebuah TPA yang dana dan perizinannya masih dinaungi oleh yayasan yang sama. Setelah tanda tangan kontrak, aku buru-buru pulang kampung untuk memberitahu Ayah dan Bunda. Mereka tentu saja tersenyum bahagia. Fiya kecil yang bengal dan susah diatur, kini menjadi tenaga pendidik yang berprestasi.

Semenjak pernikahan Sirhan dua bulan lalu, aku belum pernah pulang meski biasanya terjadwal 2 minggu sekali. Kali ini pun, hanya karena mendapat kabar dari Bunda bahwa ia sudah menetap di Banjarmasin bersama istrinya untuk mengajar di salah satu universitas negeri. Kadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, masihkah ada sekeping rasa untuknya? Entahlah. Sampai saat ini, aku masih saja berusaha meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja. Ada dia ataupun tidak, toh aku masih bisa menjadi seorang yang berarti. Hidup sebenarnya ada di luar sana, berlomba mendedikasikan diri untuk orang banyak, bukan berlomba mengambil hati salah seorang yang dikagumi orang banyak.
Ah, lupakanlah! Aku hari ini bahagia. Betapa adilnya memanjakan diri sejenak untuk rileks tanpa dikekang oleh pemikiran-pemikiran berat yang tak lagi ada artinya. Mengunjungi ekspo sastra barangkali pilihan yang tepat mengingat kotaku yang kecil tak punya banyak tempat hiburan. Karena tak ada teman yang bisa diajak, aku berkunjung sendirian. Tiba di salah satu stand pameran, aku berhenti untuk melihat naskah-naskah yang dipajang di balik lemari kaca. Disana, kurasakan seseorang memegang tanganku.
“Fiya???”
Aku menoleh refleks. Tampak seorang wanita empat puluhan di belakangku.
“Tante Ira?” aku menyapa dengan terbata-bata saking terkejutnya.
Wanita ini tersenyum ramah. Nampaknya ia begitu bahagia melihatku kembali setelah sekian tahun tak pernah lagi mengunjunginya. Pasalnya, ia seketika mengecup kedua pipiku setelah aku menyalami dan mencium tangannya. Aku malu dan merasa sangat tidak nyaman.
“Ya ampun, Fiy…! Kamu kemana aja sih? Tante kangen banget!” ia mengucapkannya seraya menggenggam erat tanganku.
Belum sempat aku menjawab apapun, ia mengajakku keluar dari kerumunan dan mencari tempat di luar ruangan. Setelah menemukan bangku panjang di taman kota, kami duduk bercengkrama.
“Nggak bosan ya tiap hari ngurusin anak-anak sekecil itu?”
“Malah asyik kok, Tan,” jawabku.
“Iya ya? Tante baru ingat kalau Fiya suka anak kecil. Yasmin aja dulu kepincut,” kenang Tante Ira sambil tertawa.
“Eh gimana Yasmin sekarang, Tan? Udah kelas berapa?” aku teringat putri bungsu Tante Ira yang dahulu senang mengajakku bermain puzzle.
“Udah kelas tiga SMP. Dia juga kangen tuh sama Fiya.”
Aku tersenyum maklum. Tujuh tahun telah berlalu selepas SMA. Selama itu, aku tidak lagi pernah bertemu keluarga ini.
“Kapan-kapan main ke rumah ya, Fiy? Temui Yasmin. Nanti pas ada Sora juga Tante bakal kenalin sama kamu.”
Sora?
Istri Sirhan kah?
Tante Ira tak melanjutkan kalimatnya. Karena khawatir ia akan mencurigai sesuatu, aku mencoba mencairkan suasana.
“Ciyeee… Tante Ira udah punya mantu.”
“Ah biasa aja kok,” jawabnya datar. Kukira sebelumnya, ia akan tersenyum senang. “Cantikan juga Fiya.”
Aku terperanjat. Sama sekali aku tidak berani meraba arah pembicaraannya.
“Gelarnya sudah MBA, Fiy. Dia teman Sirhan waktu S-2.”
Oh, begitukah? Hebat! Dia pantas bersanding dengan Sirhan.
“Wah, sepertinya dia perempuan lulusan luar negeri pertama di kota kita, Tan,” takjubku.
Tante Ira tersenyum tipis. “Tante nggak akan membangga-banggakan status, Fiy. Buat Tante yang penting sholehah.”
Aku menelan ludah.
“Pasti sholehah kan, Tante? Sirhan nggak akan sembarang pilih,” gumamku lebih kepada diri sendiri.
“Nggak tepat begitu juga sih, Fiy.”
Aku menatapnya seketika. Ia pun melanjutkan, “Sebelum menikah, dia nggak bisa pakai jilbab dengan benar. Sebentar-sebentar dipasang, sebentar-sebentar dilepas. Waktu Tante tanya, anak itu janjinya malah berjilbab dengan baik setelah nanti menikah. Loh? Tante kan nggak sreg jadinya, Fiy.”
“Tapi sekarang udah nggak begitu lagi kan?” aku mencoba menghindari konflik. Obrolan Tante Ira bukan lagi sekedar cengkrama biasa.
“Masalah menutup aurat itu hal yang serius. Kalau maunya setelah menikah, lalu tujuan berjilbabnya itu untuk menutup aurat atau cuma pengen dapetin Sirhan doang?”
Aku terperangah. Tante Ira mengucapkannya dengan nada yang meninggi. Sebagai orang luar yang tak seharusnya mengetahui masalah rumah tangga orang lain, aku tak berani menanggapi.
“Padahal sebelum lamaran, Tante udah nanyain Sirhan berkali-kali. Dia serius nggak sama perempuan itu? Tante suruh istikharah sering-sering malah. Jawabnya, ‘Entar diperbaiki, bisa aja kok.’ Kalau berjilbab aja masih sering bongkar pasang, Tante nggak yakin dia bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak Sirhan kelak. Belum lagi sama Yasmin sering nggak cocok. Fiya kan tahu, sejak kecil Yasmin banyak bicara. Kalau ketemu orang yang nggak biasa dikritik, ya kacau,” lanjutnya. Ia lantas menatap lurus ke arahku.
“Coba kayak Fiya. Tante pasti nggak akan secerewet itu.”
Ya Rabb, kalau saja Tante Ira tahu seperti apa aku yang dulu sebelum mengenal putranya, tidakkah ia lebih antipati?
“Biarkan Sirhan memilih masa depannya sendiri, Tante,” aku ingin menyudahi semuanya.
“Ya nggak gitu sih, Fiy. Tante juga nggak bisa maksa karena walau bagaimanapun, Sirhan juga yang menjalani semuanya. Tapi…,” Tante Ira menggantung kata-katanya sebelum berkata dengan tegas, “Tante rasa Sirhan tidak selektif memilih pasangan!”
Aku menghembuskan nafas dengan kesal. Ia sudah melibatkanku terlalu banyak.
“Dia sudah dewasa, Tan.”
 “Sirhan itu sederhana, Fiya. Tante nggak mau aja kalau suatu saat istrinya minta yang macam-macam….”
“Tante…,” aku segera memotong pembicaraannya. Kuganggam tangannya lembut dan mencoba  menenangkan, “Allah pasti kasih yang terbaik buat Sirhan. Fiya pernah dekat sama Sirhan, Tan. Fiya tahu persis, Sirhan nggak sembarangan memilih. Dia pasti tahu yang terbaik buat dirinya, buat Tante, Om, Yasmin, bahkan buat masa depannya nanti.”
Tante Ira menatap mataku dan perlahan tersenyum.
“Kamu masih seperti yang dulu, Fiy, selalu bisa buat hati Tante tenang,” ucapnya seraya membalas genggaman tanganku.
“Sekarang yang penting Tante doakan yang terbaik buat mereka ya? Sepanjang hidupnya, Sirhan tetap membutuhkan doa Tante.”
            Tante Ira mengangguk. Sejenak kemudian ia mengabaikanku untuk menerima panggilan di handphone-nya.
            “Sudah di taman ya? Iya, Mama tunggu di dekat air mancur ya?”
            “Tante dijemput Yasmin? Kebetulan. Fiya pengen banget ketemu,” celotehku riang.
            “Bukan Yasmin, Fiy. Sirhan.”
            Sirhan?
Tidakkah ia sekarang berada di Banjarmasin?
            Aku segera meraih tasku dan berdiri. “Tan, Fiya duluan boleh? Bunda pasti sudah menunggu.”
            Akan tetapi, dengan sigap Tante Ira menarik tanganku. “Say hello sama Sirhan dulu.”
            “Titip salam aja deh, Tan. Fiya buru-buru.”
Tante Ira tidak memaksa. Ia melepaskan tanganku sambil ikut berdiri. Aku segera pamit dan menyalaminya. Namun terlambat! Tepat saat aku ingin pergi, Tante Ira menyapa seseorang yang tak ingin kutemui itu. Rupanya, ia sudah berada di belakangku. Aku merasa sangat tak beruntung. Tapi walau bagaimanapun, aku tetap berusaha bersikap wajar saat Tante Ira memintaku menghadapinya, sekedar untuk saling menyapa.
“Han, masih ingat Fiya?”
Tak ada jawaban. Aku mengambil alih suasana dengan memberanikan diri mengangkat wajahku dan tersenyum sekedarnya. Lebih tepatnya, senyum yang kaku dan terpaksa. Itu pun, pandanganku tak tertuju padanya.
“Halo, Fiy?” sapa Sirhan lirih. Ada nada keraguan dalam getaran suaranya. Rasanya, aku tak mempercayai pedengaranku sendiri. Setelah sekian lama, suara baritonnya cukup menggema keras di telinga. Aku tak berani mencuri pandang ke arahnya meski hanya sekilas. Aku memahami dengan baik konsep memelihara pandangan. Jika dilanggar meski hanya satu detik, kenangan lama yang sudah bertahun-tahun berusaha kutumpuk dengan susah payah akan dengan mudah kembali muncul.
 “Fiya baru saja tanda tangan kontrak sebagai pengelola PAUD dan TPA di Tanah Laut, Han. Dia guru yang hebat,” puji Tante Ira seraya merangkulku. Aku tersenyum seadanya.
“Ohya? Alhamdulillah. Selamat ya, Fiy?” ucap Sirhan yang kedengarannya terpaksa.
“Ehm…, Fiya pulang dulu ya, Tante?” pamitku tanpa basa-basi. Tante Ira mengangguk ramah.
“Jaga diri baik-baik ya, Fiy? Tante sayang kamu.”
Ah, sekali lagi Tante Ira membuatku merasa tidak nyaman. Bagaimana tidak? Sirhan berdiri tepat di depan kami. Padanya, aku pun pamit dan mengucap salam seraya berharap ia tak memikirkan apapun.
Seperti saat bertemu, Tante Ira juga mencium pipiku di kanan dan kiri, kali ini ditambah dengan kecupan di kening. Entah rasa apa yang bereaksi di dalam dada. Tiba-tiba ada air mata yang mendesak keluar. Khawatir terbaca, aku melangkah cepat meninggalkan taman kota. Terekam kembali fragmen lama saat pertama kali Sirhan menghampiriku di tepi jalan setelah Rafi memperlakukanku dengan kasar. Sirhan yang tidak pernah tenang melihatku terganggu oleh sikap buruk Rafi. Mungkin, bukan karena ia sedemikian mengistimewakanku di atas gadis-gadis lain. Tidak seperti pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ia lelaki sempurna yang terpikat oleh pesona gadis bodoh. Sirhan tak seburuk itu, sebab aku tahu bagaimana ia memegang prinsipnya. Ia hanya ingin memperbaiki yang belum benar. Padaku, ia ajari caranya mengenal Tuhan. Fiya yang semula demikian hancur, tak berharga, jauh dari Tuhannya, kini tak lagi sama. Salahkah jika ia hadir dalam kehidupan Sora untuk mengajarkan hal yang sama? Mungkin, seperti halnya dirinya, Sirhan inginkan aku memperbaiki yang lain sebisaku.
Baiklah. Aku tak menentang bahwa semua yang diputuskan oleh-Nya sudah sesuai dengan porsinya. Terima kasih sudah menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menjadikanku lebih berharga, Han.


Di bawah gerimis yang penuh rahmat
Banjarbaru, 18 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment