Tidak ada penyesalan. Aku yakin aku tidak salah mengenalmu. Bahkan
sejak pertama kita berkenalan di SMP. Yakin. Sudah sangat yakin. Tapi kini aku
merasa semakin jauh. Kamu juga tidak lagi peduli, bahkan senang membuatku menangis karena
nilaiku jelek, dimarahi dosen PA, dan merasa malu karena aku bukan lagi The
Queen of Champion seperti di sekolah dahulu. Ya, terus saja menertawakanku bila
setiap ada pekerjaan rumah aku tak lagi bisa mengerjakannya sendiri, tidak
seperti dulu saat aku masih memiliki cukup kekuatan untuk selalu membuatmu
bertekuk lutut. Bukankah hanya aku yang bisa membuatmu takluk?
Thursday, December 20, 2012
Wednesday, December 19, 2012
Bani Israil atau Yahudi
Pernah mendengar kutipan ini?
“Ich konnte all die Juden in dieser Welt zu zerstören, aber
ich lasse ein wenig drehte-on,so können Sie herausfinden, warum ich sie
getötet” (Bisa saja saya musnahkan semua Yahudi di dunia ini, tapi saya sisakan
sedikit yang hidup, agar kamu nantinya dapat mengetahui mengapa saya membunuh
mereka).
Monday, September 10, 2012
Teguran-Mu
Saat ini pukul
sepuluh lewat lima. Sudah cukup lengang jalanan di luar sana. Teman-teman penghuni
kos yang masih belum pulang kampung sudah terdengar bersiap-siap untuk tidur.
Ah, aku makan malam saja belum. Tidak berselera.
Beberapa menit
yang lalu, satu pesan masuk ke inbox handphone-ku. Dari Fulanah, adik satu jurusan
tiga tingkat di bawah. Begitu melihat namanya, suasana hati sudah berubah. Kubuka
cepat-cepat. Ia menyampaikan permintaan maaf karena dengan terpaksa harus membatalkan
acara perpisahan yang sudah kami rencanakan hari Ahad nanti. Kujawab segera ditambah
icon smiley yang ceria. Ceria? Ah,
aku merasa bodoh, itu tidak jujur namanya.
Monday, September 3, 2012
Tarbiyah
Tarbiyah. Kata ini belum pernah terdengar di telingaku kecuali dalam satu
kali kesempatan aku menemukan puisi di salah satu media cetak. Si pembuat puisi
itu kuliah di “Fakultas Tarbiyah”. Except
it, nothing! Istilah sederhana ini akhirnya menjadi keyword untukku berkenalan dengan istilah-istilah asing lainnya.
Akhi, ukhti, afwan, syukron, antum, tabayun, halaqoh, ikhtilat, dan segudang
kosakata baru yang membayangkannya saja belum pernah, apalagi melisankannya
dalam percakapan sehari-hari.
Monday, May 14, 2012
Malam Minggu di Rumah Fitri
Norma A. Thahirah
Angin semilir berembus
lembut, menemani hari meyambut mentari. Gedung sekolah masih cukup lengang dari
celoteh dan tawa para siswa. Sesaat Fitri melirik jam dinding yang digantung di
atas whiteboard di ruang kelas VII A.
Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Gadis berjilbab itu kini berdiri di dekat
jendela yang menghadap pintu gerbang utama. Matanya tertuju pada sebuah mobil
merah tua yang sangat ia kenali. Seorang gadis seumurannya keluar dari sana dan
berlari memasuki gerbang.
“Fitri…!” Si gadis yang
baru saja tiba di ruang kelas itu menyapanya riang.
Fitri menoleh. Sahabat
karibnya itu tersenyum sangat manis di depannya.
“Moza kenapa?” Tanya
Fitri polos.
“Coba perhatikan aku
betul-betul. Apa yang beda?” Tanyanya balik.
Fitri mencoba melakukan
apa yang sahabatnya inginkan, memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung
kaki. Oh, ternyata memang ada yang berbeda, Moza mengenakan sepatu baru.
“Cantik, Moz. Beli
dimana?” Fitri merespon baik.
Senyum Moza semakin
mengembang. “Mas Aldo yang belikan waktu ke Singapore.”
Harga Pengorbanan
Sering
godaan itu datang, berkali-kali menyeringai. Godaan akan kehidupan normal
seperti mereka yang berada di luar sana. Godaan untuk kembali pada masa lalu
sedetik sebelum Allah memperkenalkan jalan berbatu ini. Godaan untuk bebas tertawa
berlebihan, menyanyi bersama di dalam mikrolet atau di bawah pohon akasia,
menghujani teman yang berulang tahun dengan telur, tepung dan mentega selama
seminggu, menjitak kepalanya dan menceburkannya ke sungai kecil berair kotor.
Godaan untuk mengizinkan hati berharap pada yang tak sepantasnya, merelakan
darah berdesir hangat saat dihadiahkan tatapan lembut di bawah gerimis,
melengkungkan bibir hingga terbentuk senyum sipu, memerahkan pipi. Semua muncul
silih berganti, terbungkus dengan manis untuk setiap episode. Terus menyeringai
tanpa mau mengerti akan kehadiran kehidupan baru yang terus menuntut kematangan
seiring berjalannya waktu.
Subscribe to:
Posts (Atom)