Siapa tak kenal Hermione Jean Granger, sahabat setia Harry Potter
yang jenius, berjuang dengan berani melawan The Death Eater demi
membantu “Anak Laki-Laki yang Bertahan Hidup” untuk menyelamatkan dunia
sihir. Atau pengendali air yang beranjak remaja dari suku Selatan,
Katara, teman sepetualang Aang sang Avatar dalam usahanya meruntuhkan
otoritas Raja Api Ozai.
Hermione Granger dan Katara sama-sama cerdas, sama-sama pemberani,
sama-sama gigih berjuang membela kebenaran, sama-sama tokoh yang
diciptakan untuk menjadi idola anak-anak dan remaja, dan (sayangnya)
sama-sama muncul dalam fiksi kepahlawanan non-muslim. Memang bukan hal
yang mengherankan bahwa Barat sudah “terlalu” mahir menciptakan legenda
kolosal yang menarik dan menguasi pasar fiksi dan film, dengan
tokoh-tokoh yang akan dipuja-puja sebagai pahlawan. Lihat saja kisah
Mulan si gadis tomboy yang berhasil dalam perang di RRC, Arwen Evenstar
makhluk separo elf cantik dalam The Lord of The Ring, Peter, Susan,
Edmund dan Lucy Pevensie dalam The Chronicles of Narnia, Wendy Darling
yang menjadi penyemangat Peter Pan, atau sekadar tokoh-tokoh dalam
dongeng pengantar tidur, seperti Cinderella, Belle, Aurora atau
Anastacia.
Satu fragmen sederhana yang menggelitik saya untuk bertanya,
“Bagaimana jika Hermione Granger dan Katara diciptakan dengan mengenakan
jilbab?” Eksentrik, tapi cukup menarik untuk difikirkan lebih dalam.
Selama ini saya belum pernah medengar kartunis atau novelis muslim
menciptakan fiksi legendaris yang mendunia selevel Harry Potter atau
Avatar The Legend of Aang, dengan tokoh-tokoh remaja muslim dan muslimah
(maaf bila saya ketinggalan info, mohon dikoreksi). Misalnya legenda
bocah pedalaman Kalimantan yang dilahirkan sebagai animis, tapi karena
ia dianugerahi Allah SWT dengan kecerdasan luar biasa, akhirnya berjuang
sendiri dalam pencarian kebenaran dan setelah remaja ia berpetualang ke
Xin Jiang, Gaza dan beberapa lokasi diskriminasi muslim untuk
menyelamatkan banyak jiwa, terakhir ia syahid setelah meruntuhkan rezim
Obama di Amerika dan memimpin laskar mujahid dalam memerangi Yahudi
(alurnya dipaksain banget nih, he).
Bukan tak mungkin suatu hari akan lahir novel, kartun atau film
kepahlawanan legendaris rekaan yang menarik, menegangkan tapi sarat
ibrah dan sekaligus pendalaman akidah, untuk menciptakan tokoh-tokoh
idola baru bagi anak-anak dan remaja musim tanpa kekhawatiran akan
kiblatisasi Barat. Tentunya diatur dengan alur logis dan tidak terkesan
memaksa, seterpaksa kisah si bocah pedalaman tadi.
Sebenarnya masih banyak pula tokoh-tokoh muslim yang lebih hebat dan
berani. Ingat kembali riwayat Mush’ab bin Umair yang kaya raya tapi
tidak menjadikannya pengecut dalam membela agama Allah, Zaid bin
Haritsah sang panglima pilihan Rasulullah karena kecakapannya memimpin
banyak perang, atau Salman Al Farisi yang lahir sebagai Majusi dan
karena kecerdasannya menyusun strategi, kaum muslim memenangkan perang
melawan Yahudi dan Quraisy. Tokoh muslimahnya pun tak kalah hebat. Semua
umat muslim pasti tak akan melupakan kemuliaan Ummul Mu’minin Khadijah
Al-Kubra ra yang pertama kali masuk Islam dari Bangsa Quraisy, Asma’
binti Abu Bakar ra yang dengan keberaniannya berkata benar di hadapan
seorang penguasa, atau muslimah dengan julukan lbu para syuhada,
Al-Khansa binti Amru yang rela melepas keempat putranya untuk menjadi
mujahid dalam perang melawan tentara Persia.
Bagi seorang penulis handal, barangkali riwayat Sahabat-Sahabiyah
dapat dijadikan referensi untuk menciptakan sebuah karya besar, fiksi
petualangan Islami untuk para penikmat sastra. So, novel atau film
Islami bukan cuma romantic melodrama, seperti yang sekarang menjamur.
Itung-itung kontribusi dalam menegakkan Khilafah Islamiyah.
Rasulullah saja bersabda dari Abu
Hurairah, “Tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Seorang
mujahid yang memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu
memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatannya.”
(HR. Thabrani}.
Betul?
(26 Februari 2010)