handphone-tablet
Kajian.Net
Aku sudah siap dengan semangat baru, menapak jalan terjal untuk mencari ilmu, menelusuri halang rintang untuk menyongsong indahnya masa depan.

Friday, May 2, 2014

Cerpen "Complete Me Completely" (Part 1)



           “Sirhan Azizy, M. Eng.”
       Nama yang kudengar dari suara Bunda di balik telepon itu tiba-tiba saja menjadikan jari-jemariku bergetar halus. Tidakkah ini terlalu cepat? Aku masih tak sepenuhnya percaya.
           “Itu gelar S-2 ya, Nak? Apa artinya?” tanya Bunda.
          "Master of Engineering, Bun. Kalau Bahasa Indonesianya Master dari Fakultas Teknik,” jawabku, masih dengan konsentrasi tercerai berai. Terlebih lagi, Bunda menodongku dengan pertanyaan pamungkasnya.
         “Buat Fiya itu nggak hebat ya? Buat Bunda itu sangat, sangat luar biasa, Nak. Kenapa Fiya nggak mau dapetin….”
           “Bun!” tegurku, memotong kalimat Bunda. “Sudahlah…. Mohon mengerti perasaan Fiya.”
        Di balik telepon, Bunda menghela nafas dalam. “Fiya Sayang, bukannya Bunda menuntut hal di luar kemampuan kamu, tapi….”
Kali ini aku tak sedikit pun memotong. Bunda sendiri yang menggantung kalimatnya.
“Fiya mau istirahat dulu, Bun. Kita sambung besok ya?”
Bunda mengerti. Setelah saling mengucap salam, kudengar telepon diputus.
Aku merebahkan diri di tempat tidur, menarik selimut tebal hingga ke leher dan memejamkan mata. Jari-jariku yang bergetar masih belum mau kompromi untuk diam. Perlahan, wajah pemilik nama itu muncul di pelupuk mata yang tertutup. Otomatis, aku tak bisa tidur cepat meski lelah menyerangku.
Sirhan Azizy. Hanya itu. Tanpa gelar khusus. Tak ada Master of Engineering karena ia hanya pemuda lima belas tahun yang mengenakan seragam putih abu-abu.
           “Kamu nggak apa-apa?”


Seraya meraih kembali ranselku yang terjatuh di aspal, dengan sigap aku melangkah mundur sebagai isyarat bahwa aku tak ingin didekati sedikit pun. Tampaknya ia mengerti. Aku tak ingin mengatakan apapun hingga selesai menyibakkan debu dari seragamku, mengusap wajahku yang basah oleh air mata bercampur debu jalanan, dan segera berlari menjauh. Aku tak peduli siapapun yang menolongku hari ini. Meski dia, si penolong itu memiliki reputasi bagus di sekolah. Bagus dalam artian ia tak memiliki profil yang sama dengan cowok-cowok kurang ajar yang selama ini mengintaiku sepanjang perjalanan pulang.
Menyedihkan memang. Berhari-hari setiap melewati tempat yang sama sepulang dari sekolahku yang baru, peristiwa yang nyaris sama selalu berulang. Sekelompok atau kadang hanya satu orang akan menggangguku di jalan, merebut ranselku dan melemparnya sembarangan. Kadang, mereka berhasil menarik kemejaku keluar dari lipatan pinggang. Sebenarnya, tak ada juga yang berani mereka lakukan kecuali untuk menakut-nakuti. Sehari dua hari, aku memang terjebak dalam ketakutan. Hari ketiga, gelagat aneh mereka mulai terbaca. Hari keempat kucoba untuk melewati jalan yang sama, peristiwa kembali terulang. Skenario yang mereka buat tak banyak variasi kecuali di ending seseorang yang entah siapa datang sebagai pahlawan kesiangan melawan para pengganggu. Tanpa banyak perlawanan, para pengganggu itu lari terbirit-birit. Klasik! Persis seperti nilai-nilai yang diajarkan oleh banyak sinetron karya anak negeri.
Namun hari ini tampaknya tak sama. Jika para pengganggu yang empat hari belakangan berseragam putih abu-abu, seseorang yang muncul hari ini hanya mengenakan kaos dan celana belel. Sialnya, aku mengenalnya dengan baik. Rafi!
“Sendirian???” seringainya dengan senyum sinis.
Aku berani bertaruh. Ia pasti baru saja nge-drug atau minum alkohol, seperti yang dulu sering ia lakukan di SMP kami yang tak diperhitungkan.
“Siapa pacar kamu sekarang, Fiy?” tanyanya seraya menatapku dengan matanya yang memerah. Aku mengalihkan pandang. Bersitatap dengannya membuatku ingin muntah.
“Hebat ya bisa masuk SMA favorit?” sindirnya. Dengan langkah kaki yang diseret, ia mendekat. “Disana banyak cowok pintar. Kamu pasti bisa dengan mudah menggoda mereka.”
“Jangan dekat-dekat, Raf! Kamu itu menjijikkan!” cercaku. Kupukul tangan kasarnya yang mencoba menyentuh wajahku.
Rafi tertawa mencemooh dan berkata lembut, “Fiy, jangan lupa…. Kamu gadis cantik, bukan gadis pintar yang terhormat. Terlebih lagi, kamu milikku.”
Refleks aku mendorongnya dengan geram.
“Kurang ajar! Aku udah bilang berkali-kali. Kita putus, Bodoh!”
“Ow! Fiyaku sudah berubah jadi gadis terpelajar rupanya,” sindirnya lagi. Aku tak bisa menahan amarah, maka kupukul ia dengan segenap emosi, tapi tentu saja kekuatan perempuanku tak bisa mengimbanginya, meski ia dalam keadaan mabuk.
Awalnya Rafi tak melakukan perlawanan apapun. Ia hanya terus menertawakan kemarahanku hingga akhirnya, ia mulai bosan dan mencengkeram lenganku dengan kasar, membuatku menjerit kecil dan mengeluarkan air mata. Tak sedikit pun ia belajar bersikap lembut terhadap perempuan. Tapi aku tak akan sudi memohon di depannya.
“Gara-gara kamu aku dikeluarkan, Fiy. Sudah cukup puas membuat hidupku hancur? Sementara kamu dengan sombongnya ikut belajar di sekolah bagus!”
“Lalu kenapa? Kamu pantas mendapatkannya kan?” cemoohku balik. “Kamu pemabuk! Tidak punya masa depan!”
Plak!
Rafi menghadiahiku satu tamparan keras di pipi. Aku tak lagi bisa bertahan untuk tidak menjerit dan terisak menahan perih dan mual yang tiba-tiba menghampiri.
“Fiy, dengar! Sejauh apapun usahamu merubah citra dirimu di depan anak-anak sok pintar itu, kamu tetap gadis bodoh yang akan terus dipandang sebelah mata.”
Rafi melepaskan cengkeramannya pada lenganku dengan kasar, membuat tubuhku terdorong beberapa langkah. Ia menghampiri motor besarnya dan ngebut tanpa peduli keselamatan.
Aku masih berdiri mematung, menerawang jauh menelisik hidupku yang nampak tak adil. Cantik. Itu yang dikatakan semua orang tentangku. Tapi hanya itu yang kumiliki. Tak punya otak memadai untuk meraih prestasi akademik, tak punya sahabat-sahabat baik yang selalu ada untuk mengingatkan saat salah, tak punya talenta khusus yang membuatku populer sebagai gadis berbakat. Terakhir, aku tak punya bekal agama yang cukup untuk meningkatkan kedekatanku dengan sang Pencipta. Ah! Tapi pentingkah itu sementara semua tentang agama yang kutahu adalah doktrin, hafalan tanpa pemahaman dan ancaman yang mengerikan? Aku punya orang tua yang taat, tapi aku tak bisa menerima ketaatan mereka yang kadang tak beralasan. Guru agama di sekolah tak jauh berbeda. Banyak yang memerintah tanpa memberikan penjelasan substansial yang jelas. Alhasil, aku tumbuh sebagai gadis bengal yang tak mengerti agama, tak mau memakai kerudung seperti Bunda dan tak punya posisi di hati para guru sebagai siswa membanggakan. Pun saat namaku masuk dalam daftar siswa yang diterima di SMA favorit, itu murni keajaiban.
Cantik pun tak selamanya membawa keberuntungan. Kau tahu? Cantik yang tidak dibarengi dengan kecerdasan dan kepribadian yang baik hanya akan mencelakakanmu. Ketika di SMP, aku mencuri perhatian siswa-siswa lelaki. Tak sedikit dari mereka yang berusaha membuatku terkesan, bahkan saling menyakiti hanya agar aku sudi menjadi pacar mereka. Akan tetapi, aku bukan gadis super polos yang begitu saja menerima siapapun yang terkuat, tertampan, terpandai atau terkaya. Aku juga bukan gadis materialistis seperti beberapa teman yang menyarankanku untuk memanfaatkan kemurahan hati mereka demi kepentingan pribadi. Bahkan, kadang aku bosan dengan semua perhatian berlebihan semacam itu. Sampai suatu saat, Rafi muncul sebagai pahlawan. Sebagai kepala geng yang cukup ditakuti di kalangan pelajar, ia berhasil menjauhkanku dari pusat perhatian. Semenjak ia hadir, tak ada satu pun laki-laki yang berani mendekat, bahkan sekedar say hello. Rafi lah satu-satunya yang berhasil membuatku terpesona dengan keberaniannya menentang angin dan perhatiannya yang memikat. Namun akhirnya aku harus merutuki kebodohanku. Rafi yang nampak mempesona itu ketahuan mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang. Aku marah besar dan melaporkannya langsung pada Kepala Sekolah. Sejak itu, kami putus dan ia dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat.
Bahkan jika Rafi tak lagi ada pun, aku tak yakin kehidupan normal akan kudapatkan mengingat reputasi burukku sebagai mantan pacar Rafi yang tak disukai orang-orang. Terlebih lagi, aku jebolan SMP yang cukup bermasalah. Tak sedikit siswanya yang merokok di gedung sekolah, siswa laki-laki dan perempuan pacaran berlebihan, bahkan beberapa siswi harus dikeluarkan dari sekolah karena hamil di luar nikah. Mati-matian aku berusaha mempertahankan prinsipku agar tidak terwarnai.
Aku terus tercenung di tempatku berdiri sampai deru motor yang lain terdengar dari belakang. Si penolong itu turun dari motornya untuk menghampiriku, memperhatikan arah kepergian Rafi lalu menanyakan keadaanku.
Aku tak bersimpati sedikit pun, bahkan sekedar menjawab bahwa aku baik-baik saja. Sekali lagi, siapapun dia aku tak peduli. Aku tahu dia siswa nomor satu di kelas, atau mungkin di angkatan kami. Selain dia, tidak ada lagi yang meraih nilai tertinggi di mata pelajaran tertentu. Tapi aku telah terbiasa mengalami adegan macam ini. Ditolong setelah dipojokkan, diberikan perhatian, dan di ending predikat pahlawan harus melekat di dada sang penolong. Tidakkah semua laki-laki itu pecundang? Membantu dan memberikan perhatian hanya untuk menciptakan kesan? Maaf, aku bukan gadis lemah.
Aku terus berlari. Sejauh yang bisa kudengar, ia tidak juga menghidupkan motornya.
***
Sekolah favorit tidak menjamin semua muridnya mampu bersikap santun.
Baiklah. Aku memang siswi yang tak diperhitungkan dalam akademik. Dalam daftar nama siswa yang diterima di sekolah ini, namaku berada di baris-baris terakhir. Tak masalah. Berusaha maksimal untuk bisa belajar disini sudah membuat Ayahku yang pemarah dan galak sujud syukur berkali-kali.
Mungkin Rafi benar. Sekeras apapun aku mencoba mengeksistensikan keberadaanku disini, aku tetaplah gadis bodoh yang dipandang sebelah mata. Kenyataannya, teramat sedikit teman sesama perempuan yang mau berdekatan denganku. Bahkan sekedar bertukar buku tugas untuk saling mengoreksi sebelum dikumpulkan pada guru.
“Nanti ya, Fiy? Nita udah duluan pinjam.”
“Emm…, anu, Fiy, aku juga belum selesai. Kamu lihat punya Annisa aja deh.”
“Aku tadi nyontek sama Rini, Fiy. Katanya nggak boleh dilihatkan siapa-siapa. Hehe…. Maaf ya?”
Hey! Mereka fikir aku sama sekali tak bisa menjawab satu soal pun dan hanya bisa mencontek ya? Padahal ketika teman lain menjiplak seratus persen, tak ada yang keberatan.
Oh, baiklah, Kawan-Kawan. Aku memang nampak seperti virus mematikan buat kalian.
“Kamu virus paling oke yang pernah ditemukan oleh para ahli.”
Sirhan! Lagi-lagi dia.
Pagi ini, ketika semua orang demikian menyebalkan, ia datang membawakan buku tugas dan membukakan halaman yang tepat di atas mejaku.
“Yuk share! Sini kulihat jawabanmu ya?” Sirhan meraih buku tugasku.
Aku bergerak refleks, menutupi jawaban di buku tugas dengan telapak tangan. Ia tersenyum dan menarik buku tugasku perlahan. Ah! Kenapa jadi begini? Aku bahkan semakin merasa tak nyaman setelah menyadari bahwa ada banyak mata yang memandang kami heran, atau mungkin… cemburu.
***
Tak sekali dua kali peristiwa aneh terjadi. Di saat-saat genting, Sirhan selalu datang. Mengajari beberapa materi yang sulit sebelum ulangan, mengajakku belajar bersama, juga menawarkan boncengan saat aku butuh tumpangan. Aku berusaha menganggap semua biasa saja. Semua yang dilakukannya murni karena dia hanya anak baik yang senang membantu. Tak lebih. Meski kadang tergoda oleh fikiran konyol tentang perasaan, aku sepenuh hati sadar, kami bagai bumi dan langit. Sirhan bagai bintang cemerlang yang bertabur pujian dan kebanggaan, sedang aku tak lebih dari butiran pasir tak bernilai yang hanya mampu menatap keindahan dari jarak teramat jauh.
Sungguh, aku tak berani berharap meski hanya sedikit sampai hari itu tiba.
Sirhan bertamu ke rumah untuk mengerjakan tugas fisika bersamaku. Saat akan pulang, ia memintaku memanggil Bunda untuk berpamitan.
“Pacar Fiya ya?”
Wajahku seketika memerah mendengar pertanyaan Bunda.
“Bun!” tegurku lembut sambil menjawab ‘bukan’ dengan isyarat mata.
“Belum, Tan,” jawab Sirhan tiba-tiba, membuatku spontan mempelototinya sebab sudah melemparkan candaan berlebihan pada Bunda. Ia balas menatapku sesaat.
Bunda tertawa kecil. “Maksudnya cuma teman?”
Sirhan menjawab pertanyaan Bunda disertai senyum tertahan, “Iya, kami cuma teman biasa sebelum Tante mengizinkan saya untuk… menjaga Fiya.”
Darahku berdesir mendengarnya. Aku tak sanggup mengucapkan respon apapun selain menampilkan rona pipi yang semakin bersemu dan hawa panas yang tiba-tiba menyergap tanpa permisi.
“Han! Kamu ngomong apaan sih?!”
“Ngomong serius,” jawabnya.
Entah angin apa yang membuatku berani melirik Bunda yang mengangguk pelan dan tersenyum bijak.
“Jaga Fiya baik-baik ya, Nak?” pesannya singkat. Aku hanya bisa menunduk dalam, tapi di hatiku bermekaran ribuan bunga mawar.
“Fiy, jangan marah ya?” mohonnya saat kami berdiri di halaman tempat ia memarkir motornya.
“Kenapa… kenapa kamu melakukan ini di depan Bunda?”
Sirhan memasang helm dan mulai menaiki motornya seraya menjawab, “Biar diterima.”
“Apanya?”
“Bunda sudah bilang kalau aku harus jagain kamu baik-baik. Artinya, kamu sama sekali tidak punya pilihan untuk bilang nggak.”
Spontan aku tertawa dan memukul lengannya gemas. Ia pun ikut tertawa.
“Pulang dulu ya?” pamitnya.
Aku mengangguk tanpa memandangnya. Rona merah muda di pipiku masih terasa, maka aku malu mengangkat wajahku.
Bye, Fiy? Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam,” jawabku lirih. Tepat saat deru motornya menghilang dari indra dengarku, baru aku berani mengangkat wajah.
Sirhan Azizy. Artinya keberanian yang tinggi. Ternyata memang benar ya, kalau nama adalah doa? Kalau kau tak percaya, sosok inilah buktinya. Sirhan satu-satunya yang berani mengambil banyak risiko. Menembakku di depan Bunda, membangun komunikasi dengan Ayah yang –sekali lagi harus kukatakan– pemarah dan galak sementara tak satupun teman laki-laki yang pernah berani melakukannya, bahkan Rafi sekalipun. Ditambah lagi, ia berani menentang dunia. Sosok cerdas, sholeh, bijaksana, dikelilingi oleh siswi-siswi cantik dan terpelajar yang aku yakin, sangat yakin, tak sedikit berharap dapat memilikinya. Mengapa ia tak memilih Nurul yang punya prestasi akademik selevel dengannya? Atau Aisyah yang berkerudung rapi dan selalu bersikap sopan? Ia justru menentang dunia dengan memilihku yang jika dibandingkan dengan gadis-gadis itu, tentu saja tidak masuk hitungan. Ia berani menentang dunia dengan mengabaikan tatapan-tatapan sinis dan cemburu di sekitar kami, bahkan berani untuk tak menghiraukan Rafi yang kadang hadir di saat-saat yang tidak diharapkan. Bukan sekali dua kali Sirhan mendapatkan gangguan, ancaman bahkan perlawanan fisik. Entah sampai kapan Rafi akan berhenti menyudutkanku dengan cara seperti itu.
“Aku menjagamu, Fiy. Itu janji yang harus kutepati di depan Bunda,” ulangnya.
“Aku nggak peduli apapun janji kamu ke Bunda, Han. Seorang ibu nggak akan banyak menuntut kalau itu justru mencelakakan,” sahutku lantang seraya merawat memar di wajahnya bekas pukulan teman-teman satu geng Rafi yang beraninya main keroyok.
“Apa yang seharusnya aku lakukan kalau begitu?”
“Biarkan aku menghadapi Rafi sendiri.”
“Nggak!” tolaknya keras.
“Sirhan, kamu nggak tahu dia. Rafi itu nggak akan berhenti sebelum puas mendapatkan yang dia mau.”
“Aku juga nggak akan berhenti sebelum dia berhenti gangguin kamu.”
“Han….”
Sirhan menggeleng. “Nggak, Fiy. Sudah cukup Rafi gangguin kamu selama ini. Aku nggak mau sesuatu yang lebih buruk terjadi. Okay?” ia mencoba membuat kesepakatan.
Matanya yang teduh menatapku dalam. Ada sepotong permohonan yang tulus disana. Aku menunduk, tak berani membantah.

No comments:

Post a Comment