“Sirhan Azizy, M.
Eng.”
Nama yang kudengar dari suara Bunda
di balik telepon itu tiba-tiba saja menjadikan jari-jemariku bergetar halus. Tidakkah
ini terlalu cepat? Aku masih tak sepenuhnya percaya.
“Itu gelar S-2 ya, Nak? Apa
artinya?” tanya Bunda.
"Master
of Engineering, Bun. Kalau Bahasa Indonesianya Master dari Fakultas
Teknik,” jawabku, masih dengan
konsentrasi tercerai berai. Terlebih lagi, Bunda menodongku dengan pertanyaan
pamungkasnya.
“Buat Fiya itu nggak hebat ya? Buat
Bunda itu sangat, sangat luar biasa, Nak. Kenapa Fiya nggak mau dapetin….”
“Bun!” tegurku, memotong kalimat
Bunda. “Sudahlah…. Mohon mengerti perasaan Fiya.”
Di balik telepon, Bunda menghela
nafas dalam. “Fiya Sayang, bukannya Bunda menuntut hal di luar kemampuan kamu,
tapi….”
Kali
ini aku tak sedikit pun memotong. Bunda sendiri yang menggantung kalimatnya.
“Fiya
mau istirahat dulu, Bun. Kita sambung besok ya?”
Bunda
mengerti. Setelah saling mengucap salam, kudengar telepon diputus.
Aku
merebahkan diri di tempat tidur, menarik selimut tebal hingga ke leher dan
memejamkan mata. Jari-jariku yang bergetar masih belum mau kompromi untuk diam.
Perlahan, wajah pemilik nama itu muncul di pelupuk mata yang tertutup.
Otomatis, aku tak bisa tidur cepat meski lelah menyerangku.
Sirhan
Azizy. Hanya itu. Tanpa gelar khusus. Tak ada Master of Engineering karena ia hanya pemuda lima belas tahun yang
mengenakan seragam putih abu-abu.
“Kamu nggak apa-apa?”
Seraya
meraih kembali ranselku yang terjatuh di aspal, dengan sigap aku melangkah
mundur sebagai isyarat bahwa aku tak ingin didekati sedikit pun. Tampaknya ia mengerti.
Aku tak ingin mengatakan apapun hingga selesai menyibakkan debu dari seragamku,
mengusap wajahku yang basah oleh air mata bercampur debu jalanan, dan segera
berlari menjauh. Aku tak peduli siapapun yang menolongku hari ini. Meski dia,
si penolong itu memiliki reputasi bagus di sekolah. Bagus dalam artian ia tak
memiliki profil yang sama dengan cowok-cowok kurang ajar yang selama ini mengintaiku
sepanjang perjalanan pulang.
Menyedihkan
memang. Berhari-hari setiap melewati tempat yang sama sepulang dari sekolahku
yang baru, peristiwa yang nyaris sama selalu berulang. Sekelompok atau kadang
hanya satu orang akan menggangguku di jalan, merebut ranselku dan melemparnya
sembarangan. Kadang, mereka berhasil menarik kemejaku keluar dari lipatan
pinggang. Sebenarnya, tak ada juga yang berani mereka lakukan kecuali untuk
menakut-nakuti. Sehari dua hari, aku memang terjebak dalam ketakutan. Hari ketiga,
gelagat aneh mereka mulai terbaca. Hari keempat kucoba untuk melewati jalan
yang sama, peristiwa kembali terulang. Skenario yang mereka buat tak banyak
variasi kecuali di ending seseorang
yang entah siapa datang sebagai pahlawan kesiangan melawan para pengganggu.
Tanpa banyak perlawanan, para pengganggu itu lari terbirit-birit. Klasik!
Persis seperti nilai-nilai yang diajarkan oleh banyak sinetron karya anak
negeri.
Namun
hari ini tampaknya tak sama. Jika para pengganggu yang empat hari belakangan
berseragam putih abu-abu, seseorang yang muncul hari ini hanya mengenakan kaos
dan celana belel. Sialnya, aku mengenalnya dengan baik. Rafi!
“Sendirian???”
seringainya dengan senyum sinis.
Aku
berani bertaruh. Ia pasti baru saja nge-drug
atau minum alkohol, seperti yang dulu sering ia lakukan di SMP kami yang tak
diperhitungkan.
“Siapa
pacar kamu sekarang, Fiy?” tanyanya seraya menatapku dengan matanya yang
memerah. Aku mengalihkan pandang. Bersitatap dengannya membuatku ingin muntah.
“Hebat
ya bisa masuk SMA favorit?” sindirnya. Dengan langkah kaki yang diseret, ia
mendekat. “Disana banyak cowok pintar. Kamu pasti bisa dengan mudah menggoda
mereka.”
“Jangan
dekat-dekat, Raf! Kamu itu menjijikkan!” cercaku. Kupukul tangan kasarnya yang
mencoba menyentuh wajahku.
Rafi
tertawa mencemooh dan berkata lembut, “Fiy, jangan lupa…. Kamu gadis cantik,
bukan gadis pintar yang terhormat. Terlebih lagi, kamu milikku.”
Refleks
aku mendorongnya dengan geram.
“Kurang
ajar! Aku udah bilang berkali-kali. Kita putus, Bodoh!”
“Ow!
Fiyaku sudah berubah jadi gadis terpelajar rupanya,” sindirnya lagi. Aku tak
bisa menahan amarah, maka kupukul ia dengan segenap emosi, tapi tentu saja
kekuatan perempuanku tak bisa mengimbanginya, meski ia dalam keadaan mabuk.
Awalnya
Rafi tak melakukan perlawanan apapun. Ia hanya terus menertawakan kemarahanku
hingga akhirnya, ia mulai bosan dan mencengkeram lenganku dengan kasar,
membuatku menjerit kecil dan mengeluarkan air mata. Tak sedikit pun ia belajar
bersikap lembut terhadap perempuan. Tapi aku tak akan sudi memohon di depannya.
“Gara-gara
kamu aku dikeluarkan, Fiy. Sudah cukup puas membuat hidupku hancur? Sementara
kamu dengan sombongnya ikut belajar di sekolah bagus!”
“Lalu
kenapa? Kamu pantas mendapatkannya kan?” cemoohku balik. “Kamu pemabuk! Tidak
punya masa depan!”
Plak!
Rafi
menghadiahiku satu tamparan keras di pipi. Aku tak lagi bisa bertahan untuk
tidak menjerit dan terisak menahan perih dan mual yang tiba-tiba menghampiri.
“Fiy,
dengar! Sejauh apapun usahamu merubah citra dirimu di depan anak-anak sok
pintar itu, kamu tetap gadis bodoh yang akan terus dipandang sebelah mata.”
Rafi
melepaskan cengkeramannya pada lenganku dengan kasar, membuat tubuhku terdorong
beberapa langkah. Ia menghampiri motor besarnya dan ngebut tanpa peduli keselamatan.
Aku
masih berdiri mematung, menerawang jauh menelisik hidupku yang nampak tak adil.
Cantik. Itu yang dikatakan semua orang tentangku. Tapi hanya itu yang kumiliki.
Tak punya otak memadai untuk meraih prestasi akademik, tak punya
sahabat-sahabat baik yang selalu ada untuk mengingatkan saat salah, tak punya
talenta khusus yang membuatku populer sebagai gadis berbakat. Terakhir, aku tak
punya bekal agama yang cukup untuk meningkatkan kedekatanku dengan sang
Pencipta. Ah! Tapi pentingkah itu sementara semua tentang agama yang kutahu
adalah doktrin, hafalan tanpa pemahaman dan ancaman yang mengerikan? Aku punya
orang tua yang taat, tapi aku tak bisa menerima ketaatan mereka yang kadang tak
beralasan. Guru agama di sekolah tak jauh berbeda. Banyak yang memerintah tanpa
memberikan penjelasan substansial yang jelas. Alhasil, aku tumbuh sebagai gadis
bengal yang tak mengerti agama, tak mau memakai kerudung seperti Bunda dan tak
punya posisi di hati para guru sebagai siswa membanggakan. Pun saat namaku
masuk dalam daftar siswa yang diterima di SMA favorit, itu murni keajaiban.
Cantik
pun tak selamanya membawa keberuntungan. Kau tahu? Cantik yang tidak dibarengi
dengan kecerdasan dan kepribadian yang baik hanya akan mencelakakanmu. Ketika
di SMP, aku mencuri perhatian siswa-siswa lelaki. Tak sedikit dari mereka yang
berusaha membuatku terkesan, bahkan saling menyakiti hanya agar aku sudi
menjadi pacar mereka. Akan tetapi, aku bukan gadis super polos yang begitu saja
menerima siapapun yang terkuat, tertampan, terpandai atau terkaya. Aku juga
bukan gadis materialistis seperti beberapa teman yang menyarankanku untuk
memanfaatkan kemurahan hati mereka demi kepentingan pribadi. Bahkan, kadang aku
bosan dengan semua perhatian berlebihan semacam itu. Sampai suatu saat, Rafi
muncul sebagai pahlawan. Sebagai kepala geng yang cukup ditakuti di kalangan
pelajar, ia berhasil menjauhkanku dari pusat perhatian. Semenjak ia hadir, tak
ada satu pun laki-laki yang berani mendekat, bahkan sekedar say hello. Rafi lah satu-satunya yang
berhasil membuatku terpesona dengan keberaniannya menentang angin dan
perhatiannya yang memikat. Namun akhirnya aku harus merutuki kebodohanku. Rafi
yang nampak mempesona itu ketahuan mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan
terlarang. Aku marah besar dan melaporkannya langsung pada Kepala Sekolah.
Sejak itu, kami putus dan ia dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat.
Bahkan
jika Rafi tak lagi ada pun, aku tak yakin kehidupan normal akan kudapatkan
mengingat reputasi burukku sebagai mantan pacar Rafi yang tak disukai
orang-orang. Terlebih lagi, aku jebolan SMP yang cukup bermasalah. Tak sedikit
siswanya yang merokok di gedung sekolah, siswa laki-laki dan perempuan pacaran
berlebihan, bahkan beberapa siswi harus dikeluarkan dari sekolah karena hamil
di luar nikah. Mati-matian aku berusaha mempertahankan prinsipku agar tidak
terwarnai.
Aku
terus tercenung di tempatku berdiri sampai deru motor yang lain terdengar dari
belakang. Si penolong itu turun dari motornya untuk menghampiriku,
memperhatikan arah kepergian Rafi lalu menanyakan keadaanku.
Aku
tak bersimpati sedikit pun, bahkan sekedar menjawab bahwa aku baik-baik saja. Sekali
lagi, siapapun dia aku tak peduli. Aku tahu dia siswa nomor satu di kelas, atau
mungkin di angkatan kami. Selain dia, tidak ada lagi yang meraih nilai
tertinggi di mata pelajaran tertentu. Tapi aku telah terbiasa mengalami adegan
macam ini. Ditolong setelah dipojokkan, diberikan perhatian, dan di ending predikat pahlawan harus melekat
di dada sang penolong. Tidakkah semua laki-laki itu pecundang? Membantu dan memberikan
perhatian hanya untuk menciptakan kesan? Maaf, aku bukan gadis lemah.
Aku
terus berlari. Sejauh yang bisa kudengar, ia tidak juga menghidupkan motornya.
***
Sekolah
favorit tidak menjamin semua muridnya mampu bersikap santun.
Baiklah.
Aku memang siswi yang tak diperhitungkan dalam akademik. Dalam daftar nama
siswa yang diterima di sekolah ini, namaku berada di baris-baris terakhir. Tak
masalah. Berusaha maksimal untuk bisa belajar disini sudah membuat Ayahku yang
pemarah dan galak sujud syukur berkali-kali.
Mungkin
Rafi benar. Sekeras apapun aku mencoba mengeksistensikan keberadaanku disini, aku
tetaplah gadis bodoh yang dipandang sebelah mata. Kenyataannya, teramat sedikit
teman sesama perempuan yang mau berdekatan denganku. Bahkan sekedar bertukar
buku tugas untuk saling mengoreksi sebelum dikumpulkan pada guru.
“Nanti ya, Fiy? Nita udah duluan pinjam.”
“Emm…, anu, Fiy, aku juga belum selesai. Kamu lihat punya Annisa
aja deh.”
“Aku
tadi nyontek sama Rini, Fiy. Katanya nggak boleh dilihatkan siapa-siapa. Hehe….
Maaf ya?”
Hey!
Mereka fikir aku sama sekali tak bisa menjawab satu soal pun dan hanya bisa
mencontek ya? Padahal ketika teman lain menjiplak seratus persen, tak ada yang
keberatan.
Oh,
baiklah, Kawan-Kawan. Aku memang nampak seperti virus mematikan buat kalian.
“Kamu
virus paling oke yang pernah ditemukan oleh para ahli.”
Sirhan!
Lagi-lagi dia.
Pagi
ini, ketika semua orang demikian menyebalkan, ia datang membawakan buku tugas
dan membukakan halaman yang tepat di atas mejaku.
“Yuk
share! Sini kulihat jawabanmu ya?”
Sirhan meraih buku tugasku.
Aku
bergerak refleks, menutupi jawaban di buku tugas dengan telapak tangan. Ia
tersenyum dan menarik buku tugasku perlahan. Ah! Kenapa jadi begini? Aku bahkan
semakin merasa tak nyaman setelah menyadari bahwa ada banyak mata yang
memandang kami heran, atau mungkin… cemburu.
***
Tak
sekali dua kali peristiwa aneh terjadi. Di saat-saat genting, Sirhan selalu
datang. Mengajari beberapa materi yang sulit sebelum ulangan, mengajakku
belajar bersama, juga menawarkan boncengan saat aku butuh tumpangan. Aku
berusaha menganggap semua biasa saja. Semua yang dilakukannya murni karena dia
hanya anak baik yang senang membantu. Tak lebih. Meski kadang tergoda oleh
fikiran konyol tentang perasaan, aku sepenuh hati sadar, kami bagai bumi dan
langit. Sirhan bagai bintang cemerlang yang bertabur pujian dan kebanggaan,
sedang aku tak lebih dari butiran pasir tak bernilai yang hanya mampu menatap
keindahan dari jarak teramat jauh.
Sungguh,
aku tak berani berharap meski hanya sedikit sampai hari itu tiba.
Sirhan
bertamu ke rumah untuk mengerjakan tugas fisika bersamaku. Saat akan pulang, ia
memintaku memanggil Bunda untuk berpamitan.
“Pacar
Fiya ya?”
Wajahku
seketika memerah mendengar pertanyaan Bunda.
“Bun!”
tegurku lembut sambil menjawab ‘bukan’ dengan isyarat mata.
“Belum,
Tan,” jawab Sirhan tiba-tiba, membuatku spontan mempelototinya sebab sudah
melemparkan candaan berlebihan pada Bunda. Ia balas menatapku sesaat.
Bunda
tertawa kecil. “Maksudnya cuma teman?”
Sirhan
menjawab pertanyaan Bunda disertai senyum tertahan, “Iya, kami cuma teman biasa
sebelum Tante mengizinkan saya untuk… menjaga Fiya.”
Darahku
berdesir mendengarnya. Aku tak sanggup mengucapkan respon apapun selain
menampilkan rona pipi yang semakin bersemu dan hawa panas yang tiba-tiba
menyergap tanpa permisi.
“Han!
Kamu ngomong apaan sih?!”
“Ngomong
serius,” jawabnya.
Entah
angin apa yang membuatku berani melirik Bunda yang mengangguk pelan dan
tersenyum bijak.
“Jaga
Fiya baik-baik ya, Nak?” pesannya singkat. Aku hanya bisa menunduk dalam, tapi
di hatiku bermekaran ribuan bunga mawar.
“Fiy,
jangan marah ya?” mohonnya saat kami berdiri di halaman tempat ia memarkir
motornya.
“Kenapa…
kenapa kamu melakukan ini di depan Bunda?”
Sirhan
memasang helm dan mulai menaiki motornya seraya menjawab, “Biar diterima.”
“Apanya?”
“Bunda
sudah bilang kalau aku harus jagain kamu baik-baik. Artinya, kamu sama sekali
tidak punya pilihan untuk bilang nggak.”
Spontan
aku tertawa dan memukul lengannya gemas. Ia pun ikut tertawa.
“Pulang
dulu ya?” pamitnya.
Aku
mengangguk tanpa memandangnya. Rona merah muda di pipiku masih terasa, maka aku
malu mengangkat wajahku.
“Bye, Fiy? Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam,”
jawabku lirih. Tepat saat deru motornya menghilang dari indra dengarku, baru
aku berani mengangkat wajah.
Sirhan
Azizy. Artinya keberanian yang tinggi. Ternyata memang benar ya, kalau nama
adalah doa? Kalau kau tak percaya, sosok inilah buktinya. Sirhan satu-satunya
yang berani mengambil banyak risiko. Menembakku di depan Bunda, membangun
komunikasi dengan Ayah yang –sekali lagi harus kukatakan– pemarah dan galak
sementara tak satupun teman laki-laki yang pernah berani melakukannya, bahkan
Rafi sekalipun. Ditambah lagi, ia berani menentang dunia. Sosok cerdas, sholeh,
bijaksana, dikelilingi oleh siswi-siswi cantik dan terpelajar yang aku yakin,
sangat yakin, tak sedikit berharap dapat memilikinya. Mengapa ia tak memilih
Nurul yang punya prestasi akademik selevel dengannya? Atau Aisyah yang
berkerudung rapi dan selalu bersikap sopan? Ia justru menentang dunia dengan
memilihku yang jika dibandingkan dengan gadis-gadis itu, tentu saja tidak masuk
hitungan. Ia berani menentang dunia dengan mengabaikan tatapan-tatapan sinis
dan cemburu di sekitar kami, bahkan berani untuk tak menghiraukan Rafi yang
kadang hadir di saat-saat yang tidak diharapkan. Bukan sekali dua kali Sirhan
mendapatkan gangguan, ancaman bahkan perlawanan fisik. Entah sampai kapan Rafi
akan berhenti menyudutkanku dengan cara seperti itu.
“Aku
menjagamu, Fiy. Itu janji yang harus kutepati di depan Bunda,” ulangnya.
“Aku
nggak peduli apapun janji kamu ke Bunda, Han. Seorang ibu nggak akan banyak
menuntut kalau itu justru mencelakakan,” sahutku lantang seraya merawat memar
di wajahnya bekas pukulan teman-teman satu geng Rafi yang beraninya main
keroyok.
“Apa
yang seharusnya aku lakukan kalau begitu?”
“Biarkan
aku menghadapi Rafi sendiri.”
“Nggak!”
tolaknya keras.
“Sirhan,
kamu nggak tahu dia. Rafi itu nggak akan berhenti sebelum puas mendapatkan yang
dia mau.”
“Aku
juga nggak akan berhenti sebelum dia berhenti gangguin kamu.”
“Han….”
Sirhan
menggeleng. “Nggak, Fiy. Sudah cukup Rafi gangguin kamu selama ini. Aku nggak
mau sesuatu yang lebih buruk terjadi. Okay?”
ia mencoba membuat kesepakatan.
Matanya
yang teduh menatapku dalam. Ada sepotong permohonan yang tulus disana. Aku
menunduk, tak berani membantah.
No comments:
Post a Comment