Bagaimana
harus kukatakan betapa sempurnanya dia? Di tengah kesibukannya sebagai
organisatoris yang aktif di OSIS, Pramuka dan Kelompok Ilmiah Remaja, tak
pernah ada satu orang pun yang bisa merebut posisinya di peringkat pertama tiap
semester. Ia juga tak pernah absen memberikanku les privat untuk mempelajari
materi-materi sulit di banyak mata pelajaran. Kau tahu hasilnya? Jika di kelas
X aku hanya berada di peringkat 30 ke atas, maka sekarang ia berhasil membawaku
masuk dalam jajaran sepuluh besar di kelas. Sekali lagi, tatapan cemburu
semakin banyak berseliweran di sekitarku. Bahkan pernah seorang gadis pintar di
kelas sebelah memvonisku demikian buruk. Baginya, aku hanya gadis bodoh yang
beruntung karena kebetulan punya wajah cantik hingga berhasil menggoda seorang
bintang.
Aku
mencoba menahan diri untuk terus menutup telinga. Sirhan yang mengajarkanku
begitu. Ya, tanpa mengatakan apapun, aku bisa belajar tegar darinya. Jatuh bangun
ekonomi keluarga yang mengandalkan bisnis Papanya sebagai pengusaha properti lokal
yang sering melibatkannya dalam berfikir memecahkan masalah, mengajarkannya
banyak hal tentang kesabaran, kesyukuran dan cara terbaik menghargai orang
lain. Tak heran bila selama ini ia jauh lebih dewasa dari teman-teman
seumurannya.
Bukan
hanya Sirhan yang tampak sempurna. Bila sewaktu-waktu ia membawaku bertandang
ke rumahnya yang sederhana, aku akan disambut hangat oleh Mamanya yang di
mataku amat cantik dan ramah. Pun jika Papa dan adik perempuannya juga ikut
berkumpul, mereka semua akan memperlakukanku dengan spesial. Terkadang, hal-hal
menyenangkan seperti ini berhasil juga menyentuh hatiku untuk mulai bersyukur
atas hidup yang Allah tuliskan. Perlahan, Sirhan membantuku membuka mata demi
hidup yang lebih berkualitas. Perihal kebengalanku dalam ibadah, Bunda dan Ayah
cukup bernafas lega sebab aku mulai mau mengubahnya meski sedikit.
Hingga
kami memutuskan untuk kuliah setelah lulus dari SMA, aku masih merasa berat
jika harus berpisah dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Kami harus melanjutkan
studi di kota yang berbeda, jauh di seberang pulau. Hubungan kami hanya sebatas
telepon, sms atau chatting, karena
Papa Sirhan melarangnya pulang terlalu sering agar bisa fokus belajar. Sampai
pada liburan semester, kami membuat janji temu. Banyak kisah yang kami bagi
selama enam bulan tak bersua. Salah satunya bahwa ia berpartisipasi di
organisasi keislaman kampus yang mewajibkannya ikut pengajian pekanan.
“Kamu
juga harus cari komunitas semacam itu, Fiy. Lumayan buat tambah ilmu.
Apalagi…,” ia menggantung kalimatnya sebelum melirikku dengan senyum menggoda.
“Buat calon ibu.”
Aku
terperanjat, tapi tiba-tiba pipiku memanas. Ah,
Fiya, apa-apaan sih? Aku mengusir fikiran bodohku tentang masa depan yang
tak dapat diraba. Sebetulnya, di kampusku juga ada organisasi seperti itu,
bahkan salah satu kakak tingkat satu jurusan sering menawarkan untuk mengikuti
rekrutmen. Hanya saja… aku terlalu takut akan satu hal.
“Aku
calon ibu yang baik kok,” jawabku tak mau kalah.
Sirhan
mengangkat sebelah alisnya dan menggumam, “Alhamdulillah deh.”
Aku
mencuri pandang ke arahnya yang menatap bibir pantai di depan kami. Hm,
beralasankah rasa takutku itu? Bukannya tak mau belajar, aku hanya takut
kehilangan Sirhan. Mungkin tak ada yang tahu, seberapa besar rasa yang kumiliki
terhadap laki-laki yang hatinya seluas samudra ini. Sedangkan aku mengerti
konsekuensi jika menjadi bagian dari mereka. Tidak ada pacaran, tentu saja, dan
aku tidak akan membohongi diriku sendiri untuk berkomitmen ria sementara masih
ada seseorang yang amat kucintai.
“Fiy,
jangan mengkhawatirkan apapun yang belum kamu alami. Allah itu Maha Adil, Maha
Mengerti. Kamu nggak akan sengsara dengan terus belajar untuk mendekat
pada-Nya,” kata Sirhan lembut, membuatku cukup kaget karena ia seakan mampu
membaca kegamanganku.
“Alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”
Aku
menatapnya takjub. Apaan sih tadi itu yang dibaca Sirhan?
Ia
tertawa melihat ekspresiku. “Ar-Ra’du : 28.”
“Sirhan
hafal?” takjubku. “Bisa?”
“Makanya
aku bilang ikutan ngaji!”
Aku
kembali menunduk. Han, aku tidak akan berbohong….
***
Aku
mengingat nyaris semua sms Sirhan yang mengingatkan untuk segera mencari
komunitas pengajian pekanan. Padanya, aku tak pernah berani menentang. Maka di
balik rasa takutku yang –mungkin bagi sebagian orang– tak bisa diterima, aku
memberanikan diri menemui kakak tingkat yang pernah mengajakku. Komunitas ini
menyambutku dengan hangat, walau awalnya aku sulit memaksakan diri untuk mengenakan
kerudung. Tak ada satu pun dari mereka yang memandangku sebelah mata, jauh
berbeda dengan keadaan semasa SMA. Aku mulai menikmatinya, meski jauh di lubuk
hati, aku tak bisa menghilangkan rasa takutku jika suatu saat, aku harus
kehilangan Sirhan. Pada kenyataannya, Sirhan tidak menghubungiku seintens
sebelumnya. Yah, walaupun ia tetap saja luar biasa senang karena aku sudah ngaji.
“Berarti
sekarang pakai jilbab dong?” godanya dari seberang.
“Kerudung,
Han. Katanya kalau jilbab itu kain yang menutupi seluruh tubuh,” koreksiku.
Kufikir, ia akan tertawa dan memuji bahwa aku sudah lebih pandai. Ternyata
tidak. Ia justru diam di balik telepon.
“Han?”
“Aku
sayang kamu, Fiy….”
Aku
terpana. Giliranku yang terdiam di balik telepon. Aku malu, bahagia, sekaligus
terharu. Selama nyaris 4 tahun pacaran, Sirhan tak pernah mubazir kata-kata,
tak pernah mengobral kata-kata gombal. Kalimat seperti tadi bagiku adalah isyarat
yang sangat berharga.
Namun,
malam itu menjadi kali terakhir ia menghubungiku. Semenjak itu, nomor handphone-nya tidak aktif. Ketakutanku
mulai mengganggu. Aku khawatir dia benar-benar akan menjauh setelah tahu bahwa
kami sama-sama diajarkan untuk memahami adab bergaul yang benar. Hingga hari
terakhir kuliah di semester 2, ia tetap tak bisa dihubungi. Aku putus asa. Pada
akhirnya, semua terjawab ketika ia memintaku bertemu di tempat yang sama 6
bulan lalu.
“Aku
dipersiapkan untuk menjadi ketua rohis.”
Aku
tak tahu harus ikut senang atau justru kecewa. Seandainya ia tidak melanjutkan
satu kalimat pun, aku mengerti, ketakutanku akan menjelma menjadi kenyataan
pahit.
“Aku
tahu, selama ini kita menempuh jalan yang keliru,” ucapku putus harapan.
“Kita
hanya sedang ditempa. Bukankah Allah itu Maha Mencintai, Fiy? Bahkan sudah
sampai sejauh ini, Dia masih memberikan kita kesempatan untuk menjadi lebih
baik.”
“Nggak
apa-apa kok, Han,” jawabku. Tak ada gunanya lagi membantah. Aku mengerti,
sangat mengerti, segala hikmah yang telah kudapatkan selama ini tidak terjadi
secara kebetulan. Allah telah siapkan semua demi cinta-Nya yang besar untukku.
“Hm?”
“Nggak
masalah buatku, kita bersama atau tidak. Kita sudah sama-sama dewasa, tahu mana
jalan terbaik yang harus ditempuh. Terima kasih sudah membukakan mataku, Han.
Lewat tanganmu, Allah perlahan menjadikanku seorang yang mengerti cara
bersyukur,” ucapku lirih dengan sekuat tenaga menahan diri agar tidak terdengar
cengeng.
Sirhan
mengangguk pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum, tapi matanya hanya memandang
air laut. Sepanjang kami bicara, ia tak sedikit pun memandangku.
“Kita
sama-sama perbaiki diri ya, Fiy? Semoga dengan cara seperti ini, Allah
menjadikan indah untuk masa depan kita.”
Aku
tak membantah. Sirhan benar. Perlahan-lahan, Yang Maha Mencintai menarikku dari
keterpurukan, memperkenalkanku pada kenikmatan beriman. Maka aku wajib
menggantungkan takut dan harap hanya pada-Nya.
***
Bila
ada seseorang yang paling shocked
setelah mengetahui ihwal berpisahnya kami, maka itu adalah Bunda. Ia fikir, aku
dan Sirhan bersikap sangat kekanak-kanakan dengan memutuskan hubungan hanya
karena masalah jarak. Ah, biarlah. Walaupun telah kucoba menjelaskan bahwa kami
ingin fokus kuliah dan berproses memperbaiki diri, Bunda tetap tak bisa
mengerti.
“Padahal
siapa yang dulu selalu bangga-banggain Sirhan di depan Bunda sama Ayah? Sirhan
itu pintar, baik, bagus lagi kalau mengaji. Mama Papanya senang lagi sama Fiya.
Adiknya juga lengket terus sama Fiya,” Mama menirukan gayaku. Aku tersenyum,
tapi hatiku nyeri.
“Kemarin
Mama ketemu Tante Ira loh, Fiy. Dia bilang Sirhan kalau pulang sering diminta
jadi imam sholat di mesjid kompleks,” lapor Bunda di lain kesempatan.
“Udah
dengar nggak, Fiy? Sirhan mau ambil S-2 di luar negeri. Katanya sih dapat
beasiswa.”
Aku
mengerti maksud Bunda. Sejak lama aku tahu dengan detil profil laki-laki yang
diidamkannya untuk menjadi pasanganku. Sholeh, pintar, pekerja keras, low profile. Sirhan 100%!
Maafkan Fiya, Bun. Bukannya
mengesampingkan harapan Bunda, tapi Fiya tahu, ini bukan jalan yang Allah
inginkan untuk hidup Fiya. Ia ingin Fiya sepenuh jiwa memahami cara terindah
untuk mencinta . Bukankah jika selama ini seseorang yang kita kagumi teramat
mudah digapai, dia akan menjadi biasa setelah kita miliki? Fiya ingin sesuatu
yang spesial, Bunda. Cinta yang bersih dan indah hingga Allah pun ridho dengan
masa depan Fiya.
Aku
memutuskan untuk mengambil air wudhu. Mencoba melepaskan seluruh rasa lelah
akibat memikirkan harapan Bunda. Benar kata teman-teman satu organisasi, satu
kebaikan terkadang diikuti oleh banyak ujian, atau mungkin cuma satu, tapi luar
biasa besar. Lulus atau tidak tergantung dari sikap yang kita lakukan dan
kualitas kedekatan kita pada-Nya. Di kampus, guru ngajiku tak henti menyibukkanku dengan berbagai aktivitas positif
yang mampu membantuku perlahan melupakan Sirhan.
“Bersyukurlah
karena kalian terpilih oleh Allah untuk menempuh jalan yang benar, Fiy. Hidayah
itu mahal. Hanya Allah saja yang bisa menentukan, manusia mana yang berhak
mendapatkannya,” pesannya suatu hari.
Aku
tersenyum dalam luapan kesyukuran. Hidup telah memilih jalannya. Tak ada yang
perlu disesalkan. Hingga kini, Ia masih memberiku kenikmatan besar dalam
naungan Islam. Tak risih mengenakan jilbab rapi, tak malas menghidupkan sholat
malam, tak canggung membaca dan menyelami makna indah Al Qur’an. Tentang
kisahku dengan Sirhan, tak lagi ada yang bisa memberikan godaan untuk saling
memikirkan, sebelum hari ini. Bunda menelepon untuk memberikan informasi
penting. Seperti dulu saat kudengar ia dipersiapkan menjadi ketua rohis, hari
ini pun, aku tidak tahu harus kecewa atau ikut bahagia.
“Bunda
nggak enak sama Tante Ira kalau kamu nggak pulang. Harus bilang apa nanti?
Padahal ini musim liburan sekolah. Kamu kan nggak mungkin ngajar,” keluh Bunda.
Aku meneleponnya kembali setelah tadi meminta izin untuk beristirahat.
“Fiya…
Fiya nggak sanggup ketemu Sirhan, Bun,” akuku. Di seberang sana, Bunda
sepertinya peka dengan getaran pada suaraku.
“Fiya
masih sayang ya sama Sirhan?” tembaknya.
Sebongkah
batu godam besar tak terlihat dengan kerasnya mengenai dadaku. Aku mengalihkan
pembicaraan setelah sekian detik membisu di balik telepon, “Siapa nama calon
istri Sirhan, Bun?”
“Fiya
nggak harus dengar apapun kalau nggak mau. Fiya juga nggak harus datang,
Sayang. Nanti biar Bunda sama Ayah yang kesana.”
“Fiya
baik-baik aja kok,” ucapku meski tak tahu pasti itu perkataan jujur atau tidak.
Aku tak menyalahkan dan tak seharusnya bersikap cengeng. Dari awal Sirhan tak
pernah menjanjikan apapun, tak pernah memintaku menunggu. Salahku yang terlalu
banyak berharap. Harusnya aku bisa lebih realistis. Lelaki dengan berjuta
pesona, pemilik hati yang kesabarannya tak terbatas, perempuan mana yang tak
terpikat olehnya?
“Maafin
Bunda ya, Nak? Bunda selama ini nggak pernah bisa mengerti, selalu saja
memojokkan Fiya. Padahal tidak seharusnya Bunda memaksakan Fiya harus dengan
siapa.”
“Bunda
ngomong apa sih? Bunda nggak salah apapun kok,” jawabku. Aku bisa merasakan
Bunda tersenyum di seberang sana. Kurasakan kamarku berubah lebih hangat dari
sebelumnya.
“Eh,
kayaknya ada tamu tuh. Bunda tutup dulu ya? Tentang Sirhan, Fiya jangan
fikirkan apapun. Fiya cantik, sholehah, nggak pernah membantah sama orang tua,
pasti Allah kasih yang lebih hebat dari Sirhan.”
Mataku
memanas. Ada air yang memaksa keluar tanpa permisi. Kuharap Bunda tak
menyadarinya sampai telepon ditutup.
No comments:
Post a Comment