handphone-tablet
Kajian.Net
Aku sudah siap dengan semangat baru, menapak jalan terjal untuk mencari ilmu, menelusuri halang rintang untuk menyongsong indahnya masa depan.

Friday, May 2, 2014

Cerpen "Complete Me Completely" (Part 2)



Bagaimana harus kukatakan betapa sempurnanya dia? Di tengah kesibukannya sebagai organisatoris yang aktif di OSIS, Pramuka dan Kelompok Ilmiah Remaja, tak pernah ada satu orang pun yang bisa merebut posisinya di peringkat pertama tiap semester. Ia juga tak pernah absen memberikanku les privat untuk mempelajari materi-materi sulit di banyak mata pelajaran. Kau tahu hasilnya? Jika di kelas X aku hanya berada di peringkat 30 ke atas, maka sekarang ia berhasil membawaku masuk dalam jajaran sepuluh besar di kelas. Sekali lagi, tatapan cemburu semakin banyak berseliweran di sekitarku. Bahkan pernah seorang gadis pintar di kelas sebelah memvonisku demikian buruk. Baginya, aku hanya gadis bodoh yang beruntung karena kebetulan punya wajah cantik hingga berhasil menggoda seorang bintang.

Aku mencoba menahan diri untuk terus menutup telinga. Sirhan yang mengajarkanku begitu. Ya, tanpa mengatakan apapun, aku bisa belajar tegar darinya. Jatuh bangun ekonomi keluarga yang mengandalkan bisnis Papanya sebagai pengusaha properti lokal yang sering melibatkannya dalam berfikir memecahkan masalah, mengajarkannya banyak hal tentang kesabaran, kesyukuran dan cara terbaik menghargai orang lain. Tak heran bila selama ini ia jauh lebih dewasa dari teman-teman seumurannya.
Bukan hanya Sirhan yang tampak sempurna. Bila sewaktu-waktu ia membawaku bertandang ke rumahnya yang sederhana, aku akan disambut hangat oleh Mamanya yang di mataku amat cantik dan ramah. Pun jika Papa dan adik perempuannya juga ikut berkumpul, mereka semua akan memperlakukanku dengan spesial. Terkadang, hal-hal menyenangkan seperti ini berhasil juga menyentuh hatiku untuk mulai bersyukur atas hidup yang Allah tuliskan. Perlahan, Sirhan membantuku membuka mata demi hidup yang lebih berkualitas. Perihal kebengalanku dalam ibadah, Bunda dan Ayah cukup bernafas lega sebab aku mulai mau mengubahnya meski sedikit.
Hingga kami memutuskan untuk kuliah setelah lulus dari SMA, aku masih merasa berat jika harus berpisah dengannya. Tapi mau bagaimana lagi? Kami harus melanjutkan studi di kota yang berbeda, jauh di seberang pulau. Hubungan kami hanya sebatas telepon, sms atau chatting, karena Papa Sirhan melarangnya pulang terlalu sering agar bisa fokus belajar. Sampai pada liburan semester, kami membuat janji temu. Banyak kisah yang kami bagi selama enam bulan tak bersua. Salah satunya bahwa ia berpartisipasi di organisasi keislaman kampus yang mewajibkannya ikut pengajian pekanan.
“Kamu juga harus cari komunitas semacam itu, Fiy. Lumayan buat tambah ilmu. Apalagi…,” ia menggantung kalimatnya sebelum melirikku dengan senyum menggoda. “Buat calon ibu.”
Aku terperanjat, tapi tiba-tiba pipiku memanas. Ah, Fiya, apa-apaan sih? Aku mengusir fikiran bodohku tentang masa depan yang tak dapat diraba. Sebetulnya, di kampusku juga ada organisasi seperti itu, bahkan salah satu kakak tingkat satu jurusan sering menawarkan untuk mengikuti rekrutmen. Hanya saja… aku terlalu takut akan satu hal.
“Aku calon ibu yang baik kok,” jawabku tak mau kalah.
Sirhan mengangkat sebelah alisnya dan menggumam, “Alhamdulillah deh.”
Aku mencuri pandang ke arahnya yang menatap bibir pantai di depan kami. Hm, beralasankah rasa takutku itu? Bukannya tak mau belajar, aku hanya takut kehilangan Sirhan. Mungkin tak ada yang tahu, seberapa besar rasa yang kumiliki terhadap laki-laki yang hatinya seluas samudra ini. Sedangkan aku mengerti konsekuensi jika menjadi bagian dari mereka. Tidak ada pacaran, tentu saja, dan aku tidak akan membohongi diriku sendiri untuk berkomitmen ria sementara masih ada seseorang yang amat kucintai.
“Fiy, jangan mengkhawatirkan apapun yang belum kamu alami. Allah itu Maha Adil, Maha Mengerti. Kamu nggak akan sengsara dengan terus belajar untuk mendekat pada-Nya,” kata Sirhan lembut, membuatku cukup kaget karena ia seakan mampu membaca kegamanganku.
Alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”
Aku menatapnya takjub. Apaan sih tadi itu yang dibaca Sirhan?
Ia tertawa melihat ekspresiku. “Ar-Ra’du : 28.”
“Sirhan hafal?” takjubku. “Bisa?”
“Makanya aku bilang ikutan ngaji!”
Aku kembali menunduk. Han, aku tidak akan berbohong….
***
Aku mengingat nyaris semua sms Sirhan yang mengingatkan untuk segera mencari komunitas pengajian pekanan. Padanya, aku tak pernah berani menentang. Maka di balik rasa takutku yang –mungkin bagi sebagian orang– tak bisa diterima, aku memberanikan diri menemui kakak tingkat yang pernah mengajakku. Komunitas ini menyambutku dengan hangat, walau awalnya aku sulit memaksakan diri untuk mengenakan kerudung. Tak ada satu pun dari mereka yang memandangku sebelah mata, jauh berbeda dengan keadaan semasa SMA. Aku mulai menikmatinya, meski jauh di lubuk hati, aku tak bisa menghilangkan rasa takutku jika suatu saat, aku harus kehilangan Sirhan. Pada kenyataannya, Sirhan tidak menghubungiku seintens sebelumnya. Yah, walaupun ia tetap saja luar biasa senang karena aku sudah ngaji.
“Berarti sekarang pakai jilbab dong?” godanya dari seberang.
“Kerudung, Han. Katanya kalau jilbab itu kain yang menutupi seluruh tubuh,” koreksiku. Kufikir, ia akan tertawa dan memuji bahwa aku sudah lebih pandai. Ternyata tidak. Ia justru diam di balik telepon.
“Han?”
“Aku sayang kamu, Fiy….”
Aku terpana. Giliranku yang terdiam di balik telepon. Aku malu, bahagia, sekaligus terharu. Selama nyaris 4 tahun pacaran, Sirhan tak pernah mubazir kata-kata, tak pernah mengobral kata-kata gombal. Kalimat seperti tadi bagiku adalah isyarat yang sangat berharga.
Namun, malam itu menjadi kali terakhir ia menghubungiku. Semenjak itu, nomor handphone-nya tidak aktif. Ketakutanku mulai mengganggu. Aku khawatir dia benar-benar akan menjauh setelah tahu bahwa kami sama-sama diajarkan untuk memahami adab bergaul yang benar. Hingga hari terakhir kuliah di semester 2, ia tetap tak bisa dihubungi. Aku putus asa. Pada akhirnya, semua terjawab ketika ia memintaku bertemu di tempat yang sama 6 bulan lalu.
“Aku dipersiapkan untuk menjadi ketua rohis.”
Aku tak tahu harus ikut senang atau justru kecewa. Seandainya ia tidak melanjutkan satu kalimat pun, aku mengerti, ketakutanku akan menjelma menjadi kenyataan pahit.
“Aku tahu, selama ini kita menempuh jalan yang keliru,” ucapku putus harapan.
“Kita hanya sedang ditempa. Bukankah Allah itu Maha Mencintai, Fiy? Bahkan sudah sampai sejauh ini, Dia masih memberikan kita kesempatan untuk menjadi lebih baik.”
“Nggak apa-apa kok, Han,” jawabku. Tak ada gunanya lagi membantah. Aku mengerti, sangat mengerti, segala hikmah yang telah kudapatkan selama ini tidak terjadi secara kebetulan. Allah telah siapkan semua demi cinta-Nya yang besar untukku.
“Hm?”
“Nggak masalah buatku, kita bersama atau tidak. Kita sudah sama-sama dewasa, tahu mana jalan terbaik yang harus ditempuh. Terima kasih sudah membukakan mataku, Han. Lewat tanganmu, Allah perlahan menjadikanku seorang yang mengerti cara bersyukur,” ucapku lirih dengan sekuat tenaga menahan diri agar tidak terdengar cengeng.
Sirhan mengangguk pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum, tapi matanya hanya memandang air laut. Sepanjang kami bicara, ia tak sedikit pun memandangku.
“Kita sama-sama perbaiki diri ya, Fiy? Semoga dengan cara seperti ini, Allah menjadikan indah untuk masa depan kita.”
Aku tak membantah. Sirhan benar. Perlahan-lahan, Yang Maha Mencintai menarikku dari keterpurukan, memperkenalkanku pada kenikmatan beriman. Maka aku wajib menggantungkan takut dan harap hanya pada-Nya.
***
Bila ada seseorang yang paling shocked setelah mengetahui ihwal berpisahnya kami, maka itu adalah Bunda. Ia fikir, aku dan Sirhan bersikap sangat kekanak-kanakan dengan memutuskan hubungan hanya karena masalah jarak. Ah, biarlah. Walaupun telah kucoba menjelaskan bahwa kami ingin fokus kuliah dan berproses memperbaiki diri, Bunda tetap tak bisa mengerti.
“Padahal siapa yang dulu selalu bangga-banggain Sirhan di depan Bunda sama Ayah? Sirhan itu pintar, baik, bagus lagi kalau mengaji. Mama Papanya senang lagi sama Fiya. Adiknya juga lengket terus sama Fiya,” Mama menirukan gayaku. Aku tersenyum, tapi hatiku nyeri.
“Kemarin Mama ketemu Tante Ira loh, Fiy. Dia bilang Sirhan kalau pulang sering diminta jadi imam sholat di mesjid kompleks,” lapor Bunda di lain kesempatan.
“Udah dengar nggak, Fiy? Sirhan mau ambil S-2 di luar negeri. Katanya sih dapat beasiswa.”
Aku mengerti maksud Bunda. Sejak lama aku tahu dengan detil profil laki-laki yang diidamkannya untuk menjadi pasanganku. Sholeh, pintar, pekerja keras, low profile. Sirhan 100%!
Maafkan Fiya, Bun. Bukannya mengesampingkan harapan Bunda, tapi Fiya tahu, ini bukan jalan yang Allah inginkan untuk hidup Fiya. Ia ingin Fiya sepenuh jiwa memahami cara terindah untuk mencinta . Bukankah jika selama ini seseorang yang kita kagumi teramat mudah digapai, dia akan menjadi biasa setelah kita miliki? Fiya ingin sesuatu yang spesial, Bunda. Cinta yang bersih dan indah hingga Allah pun ridho dengan masa depan Fiya.
Aku memutuskan untuk mengambil air wudhu. Mencoba melepaskan seluruh rasa lelah akibat memikirkan harapan Bunda. Benar kata teman-teman satu organisasi, satu kebaikan terkadang diikuti oleh banyak ujian, atau mungkin cuma satu, tapi luar biasa besar. Lulus atau tidak tergantung dari sikap yang kita lakukan dan kualitas kedekatan kita pada-Nya. Di kampus, guru ngajiku tak henti menyibukkanku dengan berbagai aktivitas positif yang mampu membantuku perlahan melupakan Sirhan.
“Bersyukurlah karena kalian terpilih oleh Allah untuk menempuh jalan yang benar, Fiy. Hidayah itu mahal. Hanya Allah saja yang bisa menentukan, manusia mana yang berhak mendapatkannya,” pesannya suatu hari.
Aku tersenyum dalam luapan kesyukuran. Hidup telah memilih jalannya. Tak ada yang perlu disesalkan. Hingga kini, Ia masih memberiku kenikmatan besar dalam naungan Islam. Tak risih mengenakan jilbab rapi, tak malas menghidupkan sholat malam, tak canggung membaca dan menyelami makna indah Al Qur’an. Tentang kisahku dengan Sirhan, tak lagi ada yang bisa memberikan godaan untuk saling memikirkan, sebelum hari ini. Bunda menelepon untuk memberikan informasi penting. Seperti dulu saat kudengar ia dipersiapkan menjadi ketua rohis, hari ini pun, aku tidak tahu harus kecewa atau ikut bahagia.
“Bunda nggak enak sama Tante Ira kalau kamu nggak pulang. Harus bilang apa nanti? Padahal ini musim liburan sekolah. Kamu kan nggak mungkin ngajar,” keluh Bunda. Aku meneleponnya kembali setelah tadi meminta izin untuk beristirahat.
“Fiya… Fiya nggak sanggup ketemu Sirhan, Bun,” akuku. Di seberang sana, Bunda sepertinya peka dengan getaran pada suaraku.
“Fiya masih sayang ya sama Sirhan?” tembaknya.
Sebongkah batu godam besar tak terlihat dengan kerasnya mengenai dadaku. Aku mengalihkan pembicaraan setelah sekian detik membisu di balik telepon, “Siapa nama calon istri Sirhan, Bun?”
“Fiya nggak harus dengar apapun kalau nggak mau. Fiya juga nggak harus datang, Sayang. Nanti biar Bunda sama Ayah yang kesana.”
“Fiya baik-baik aja kok,” ucapku meski tak tahu pasti itu perkataan jujur atau tidak. Aku tak menyalahkan dan tak seharusnya bersikap cengeng. Dari awal Sirhan tak pernah menjanjikan apapun, tak pernah memintaku menunggu. Salahku yang terlalu banyak berharap. Harusnya aku bisa lebih realistis. Lelaki dengan berjuta pesona, pemilik hati yang kesabarannya tak terbatas, perempuan mana yang tak terpikat olehnya?
“Maafin Bunda ya, Nak? Bunda selama ini nggak pernah bisa mengerti, selalu saja memojokkan Fiya. Padahal tidak seharusnya Bunda memaksakan Fiya harus dengan siapa.”
“Bunda ngomong apa sih? Bunda nggak salah apapun kok,” jawabku. Aku bisa merasakan Bunda tersenyum di seberang sana. Kurasakan kamarku berubah lebih hangat dari sebelumnya.
“Eh, kayaknya ada tamu tuh. Bunda tutup dulu ya? Tentang Sirhan, Fiya jangan fikirkan apapun. Fiya cantik, sholehah, nggak pernah membantah sama orang tua, pasti Allah kasih yang lebih hebat dari Sirhan.”
Mataku memanas. Ada air yang memaksa keluar tanpa permisi. Kuharap Bunda tak menyadarinya sampai telepon ditutup.

No comments:

Post a Comment