Tarbiyah. Kata ini belum pernah terdengar di telingaku kecuali dalam satu
kali kesempatan aku menemukan puisi di salah satu media cetak. Si pembuat puisi
itu kuliah di “Fakultas Tarbiyah”. Except
it, nothing! Istilah sederhana ini akhirnya menjadi keyword untukku berkenalan dengan istilah-istilah asing lainnya.
Akhi, ukhti, afwan, syukron, antum, tabayun, halaqoh, ikhtilat, dan segudang
kosakata baru yang membayangkannya saja belum pernah, apalagi melisankannya
dalam percakapan sehari-hari.
Ketika usia tarbiyahku sudah mencapai lebih dari satu tahun, aku mulai
piawai mengucapkan istilah-istilah asing tadi, tidak kikuk seperti dulu. Aku
mulai menikmati peranku dan mencintai lingkunganku. Indah rasanya dikelilingi
oleh saudara-saudari yang memiliki daya juang tinggi dalam menuntut ilmu namun
tetap peduli pada masyarakat umum yang tidak pernah menolong secara langsung,
memiliki semangat besar dalam berdakwah namun tetap tidak melepaskan tangan
saudaranya yang perlahan melemah.
Pada akhirnya tarbiyah berhasil mengantarkan kita pada hal-hal yang lebih
kompleks, tidak melulu persoalan agama serta bumbu-bumbu ‘bahasa planet’, tapi
juga pemahaman yang tepat tentang sosial, budaya, ekonomi, sains, seni, dan
politik—bidang rumit yang seringkali direspon dengan ekspresi “emang gue
pikirin?” oleh masyarakat. Aku yang dulu tidak jauh berbeda. Menurutku politik hanyalah sebuah sistem
buatan manusia bertangan besi yang haram dicampuradukkan dengan urusan agama.
Tapi ternyata aku salah besar! Politik bukanlah visi, hanya strategi untuk
mencapai sebuah visi. Visi inilah yang akhirnya patut kita perhatikan dari
masing-masing individu. Bukankah dengan politik risalah Rasulullah saw sampai
ke negeri ini? Dan visi politik Rasulullah adalah menebarkan ajaran Allah ke
seluruh penjuru bumi.
Tarbiyahlah yang berperan menjembatani pemikiran kuno. Bukan hanya aku,
tapi bagi siapapun yang dulunya belum pernah menginjak jalan ini.
Minggu sore yang cerah, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment