Sumber gambar : http://umustlucky.blogspot.com |
Tidak ada paksaan
dalam dakwah, namun siapkah kita digantikan oleh ‘golongan lain’ itu? Saat
orang-orang di sekitar kita sibuk berjuang, seorang prajurit dakwah tidak akan
merasa nyaman untuk tetap berdiam diri sebagai penonton tanpa kontribusi
memadai. Meski kemenangan sudah dekat di depan mata pun, bukan berarti kita boleh
duduk-duduk menunggu tanpa kerja.
Surga memang tidak bisa diperoleh dengan cara yang mudah,
apalagi murah. Terkadang kita perlu melakukan banyak hal yang secara logika
tidak bisa dilakukan sebelumnya, seperti memaksakan diri mengerjakan sesuatu di
sela-sela kesibukan bekerja, mengeluarkan seluruh uang kertas dari dompet tanpa
hitung-hitung terlebih dahulu, atau meninggalkan
acara penting keluarga demi menghadiri syura’ kepanitiaan.
Contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan
amanah yang harus dilaksanakan oleh prajurit dakwah. Singkatnya, amanah-amanah
kecil yang dikerjakan dengan ikhlas ialah pengantar untuk amanah-amanah besar.
Seandainya pada fase tersebut tidak lulus, bagaimana mungkin Allah akan
memberikan kita amanah besar? Jika kita masih terseok-seok memunguti
amanah-amanah kecil untuk dijalankan, maka kita tak punya pengalaman yang cukup
untuk menyelesaikan masalah saat kemenangan sudah di tangan.
Semakin tinggi kuantitas
potensi manusia, maka semakin berat amanahnya. Orang kaya lebih besar tanggung
jawabnya menafkahkan harta, orang cerdas lebih dituntut untuk membagi ilmunya
pada orang-orang sekitarnya dan sebagainya. Mungkin masih ada di antara kita
yang tidak memiliki self confidence,
merasa bahwa di dalam suatu posisi ia tidak berbakat, hingga terbersit
pemikiran, “Saya tidak ingin dapat amanah di lini A, saya maunya di lini B.” Menanggapi
kasus seperti ini, menurut hemat saya, bukannya orang tersebut tidak berbakat
atau memiliki kuantitas potensi yang rendah, tapi hanya self confidence dan keikhlasan yang perlu dipertanyakan. Bukankah
Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya? Jika seorang
nonmuslim semacam Plato, Einstein atau Beethoven sedemikian luar biasanya di
mata dunia, maka seorang muslim yang selalu ada Allah di hatinya tentu bisa lebih
berguna. Yah, mungkin kita tidak bisa seperti Bapak K.H. Rahmat Abdullah atau
Ustadz Anis Matta yang luar biasa. Kita hanya diri kita sendiri, yang belajar
merangkak dari diri yang biasa.
Dakwah memang berat, tapi ada harga yang akan dibayar. Ada
lelah yang akan diganti. Allah sudah mempersiapkannya untuk kita, bukan hanya
satu, tapi seribu. Hanya pengorbananlah yang berhak atas harga-harga itu.
Pengorbanan untuk menjauhkan godaan, pengorbanan untuk mempertahankan iman,
pengorbanan untuk tetap teguh dalam barisan. Sebab tak ada penat yang sia-sia.
No comments:
Post a Comment