Meskipun banyak beredar novel
berbagai genre, fiksi terbaik sepanjang masa menurut saya tetaplah Harry
Potter, yang kedua Sherlock Holmes, selanjutnya Hunger Games & Death Note
(komik). Dalam novel Harry Potter, tidak ada 1 detail pun yang terlewatkan,
yang pada fiksi-fiksi fantasy lainnya akan memunculkan pertanyaan, “kok jadi
gini?” atau “yang ini kok tiba-tiba muncul?” yang membuat cerita jadi terasa
tidak masuk akal. Harry Potter juga mengajarkan untuk saling percaya karena
musuh sangat menyukai kaum yang tercerai-berai. Ini pesan moral yang paling
ditonjolkan, menurut saya sih.
Kalau Sherlock Holmes
kelebihannya ada pada ketepatan deduksi tanpa kebanyakan basa-basi. Banyak
kisah detektif lain memang, tapi menurut saya masih kebanyakan “bumbu”-nya,
alias masalah yang didramatisir untuk menarik minat pembaca (kecuali kisah Hercule
Poirot dari Agatha Christie yang masih belum sempat saya baca, yang katanya
bertentangan dengan metode Sherlock dalam mencari petunjuk). Maaf ya penggemar
detektif fiksi selain Sherlock Holmes, itu hanya padangan saya.
Tapi petualangan Sherlock versi
BBC juga banyak dramatisasi.
Yup that's right! Hanya saja
dramatisasi disini dikemas dalam bentuk komedi segar yang cerdas dan tidak
meninggalkan substansi cerita, diperankan oleh aktor kawakan favorit saya pula,
Benedict Cumberbatch yang dinominasikan sebagai aktor terbaik di Piala Oscar
2015. Bukan dramatisasi ala drama Korea ya.
The next one is Hunger Games
Trilogy. Kalau Harry Potter mengajarkan sikap saling percaya, Hunger Games
kebalikannya. Ia mengajarkan untuk selalu waspada meski dengan orang terdekat
sekali pun. Selain itu, novel ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang serba
berkecukupan (makan teratur, sekolah favorit, pakaian modis, kendaraan mahal
dll) lebih mudah dibodohi daripada orang-orang yang serba kekurangan.
Yang terakhir Death Note. Komik ya, bukan versi film, karena jauh sekali perbedaannya. Light Yagami dan L, dua pemuda seusia yang berperang dalam diam. Kalau Sherlock hebat dalam deduksi, L hebat dalam membuat rencana pemecahan kasus, dan Light hebat menghindarinya. Saya ingat beberapa tahun silam berburu pinjaman komik Death Note bersama Deya dan berandai-andai hewan apa yang cocok menjadi patronus kami. Hm... masih ingat kah sahabat saya ini?
Belum ada fiksi lain yang sukses
dibuat secerdas fiksi-fiksi di atas, kecuali historical fiction, tapi tentu
saja tidak masuk hitungan karena bersumber dari sejarah.
Oh, ralat! Mungkin banyak fiksi
yang cerdas, tapi di luar genre yang saya sukai. Drama contohnya. Ada banyak
sekali novel drama yang best seller, baik dari penulis lokal maupun
internasional, pembacanya jutaan dan berhasil mempengaruhi hidup banyak orang.
Jangan kira saya gengsi atau tidak mau mencintai novel drama yang biasanya ada
bagian tangis-menangis, saya sudah berkali-kali berusaha, tapi kenyataannya
novel-novel penuh makna karya penulis sekaliber Tere Liye atau Andrea Hirata
tak berhasil membuat saya menyelesaikan pertengahan buku. Semua pasti berakhir
dengan kebosanan.
Bandingkan saat membaca novel
detektif, action fantasy atau historical fiction yang bersifat kolosal. Entah
dalam waktu berapa minggu waktu itu, saya pernah menghabiskan 7 seri Harry
Potter, 3 seri Hunger Games, 2 seri kisah klan Otori (fiksi ksatria Jepang abad
1800-an), 3 novel + beberapa cerpen
Sherlock Holmes, 2 seri Percy Jackson dan 5 seri Trio Detektif. Semuanya
e-book. Setelah stoknya habis, saya membaca The Alchemist karya Paulo Coelho,
lagi-lagi tak selesai karena saya kembali bosan dengan drama.
Sebenarnya mengherankan. Dulu
ketika SMP, saya rajin membuat cerita remaja yang ditulis tangan dan ilustrasi
sampulnya saya buat sendiri dari potongan-potongan majalah. Setiap hari cerita
itu dipinjam bergantian oleh teman-teman, Yuli, Hike, Feni, Jojo, Yani, Amah, Anti, saya lupa apakah
sahabat saya Eva juga menjadi bagian dari fansclub ini :D (siapa lagi ya yang
belum disebut?). Bukan kisah detektif atau fantasy, tapi tema yang tak
jauh-jauh dari remaja, yakni kisah percintaan anak SMA dengan tokoh sentral
Alex dan Dita. Cerita yang 'extraordinary alay' dan awut-awutan itu tetap saja
menjadi trending topic di kalangan sahabat-sahabat saya yang setia.
Wait, that is drama, isn’t it?
Absolutely it is! Itu drama, pun
setelah dewasa saya berkali-kali menulis cerpen drama. Dua telah diterbitkan
secara 'paksa', sisanya tidak jadi terbit karena kendala teknis. Icha dan Ita 2
sahabat saya yang menjadi teman 'bergalau ria' di balik cerpen-cerpen 'luar
biasa' itu. Permen Biru dan Pangeran Berkuda Tua, Complete Me Completely, All The
Impossible Thing, bukankah judul-judul itu sangat menarik, Sahabatku? Dan kisah-kisah di dalamnya akan membuat kita tersenyum penuh makna.
ini buku keroyokan karya saya dan teman-teman |
Sementara cerpen-cerpen dan satu
semi novel berseri berhasil saya selesaikan (meskipun saya tidak tahu lagi keberadaan
semi novel itu sekarang), ternyata ada banyak fiksi bergenre lain yang bernasib
malang. Sebut saja cerpen tentang derak-derak misterius dalam gudang yang hanya
berhasil dibuat sebanyak satu paragraf, atau yang lebih parah lagi novel
tentang seorang profesor gila yang menemukan serum mematikan di lab kimia,
masih berbentuk kerangka. Ada lagi tentang anak-anak nakal yang membongkar
sindikat human trafficking, juga masih kerangka. Oh ya, satu lagi yang baru diselesaikan
kerangkanya, tentang persahabatan lintas agama dua remaja yang bersembunyi dari
pembunuh. Setting-nya di Tanah Bumbu, tempat saya dibesarkan. Saya bersemangat
sekali membuat kerangka yang satu ini tapi kembali lagi, saya BINGUNG karena
kekurangan referensi.
Sungguh aneh ya? Saya penggila fiksi detektif, action
fantasy dan historical fiction, tidak menyukai drama, tapi sejauh ini hanya
berhasil membuat fiksi drama. Entah kapan Tuhan akan menganugerahi saya ide
kreatif sesuai genre favorit saya.
Wallahu a'lam. Semoga kapanpun itu tetap akan menjadi berkah
untuk banyak orang. Amin.
Kandangan, 21 Juli 2015
(inspirasi menyejukkan
di antara kegaduhan petasan)
No comments:
Post a Comment