handphone-tablet
Kajian.Net
Aku sudah siap dengan semangat baru, menapak jalan terjal untuk mencari ilmu, menelusuri halang rintang untuk menyongsong indahnya masa depan.

Wednesday, April 30, 2014

Murabbi (tak) Sempurna

Berawal dari obrolan iseng yang kerap kali kita dengar atau ucapkan bersama teman-teman kita.
“Siapa Murabbi Antum/Anti?”
“Ah, ngapain ngasih tahu? Kasian beliau. Kelakuan ane masih unyu-unyu gini.”
Terlepas dari perihal ke-amniyah-an, dari dialog di atas kita bisa renungkan apa yang seharusnya menjadi tugas Murabbi. Memperbaiki akhlaq Mutarabbi kah? Sebegitu berat ya amanah yang dipikul seseorang yang bergelar Murabbi itu?
Mari kita telusuri!
Sebagaimana tak ada manusia sempurna kecuali Rasulullah saw (shalawat dan salam atas beliau), maka saya juga memberanikan diri untuk katakan, tak ada Murabbi sempurna kecuali beliau. Oleh karena itu, saat kita memposisikan diri sebagai Mutarabbi, bukan hal yang bisa dibenarkan apabila kita terus-menerus bercermin, memandang kagum dan menuntut kesempurnaan dari Murabbi. Walau bagaimanapun, Murabbi hanyalah manusia biasa yang selagi kecil hatinya tidak pernah dibersihkan oleh malaikat Jibril hingga terpelihara dari dosa. Terlebih lagi, sebagian besar dari kita memiliki latar belakang keluarga non-tarbiyah dan lingkungan keseharian yang tidak support dengan dakwah. Maka tak heran, ketika seorang aktivis dakwah kampus yang dahulunya sedemikian luar biasa (sukses membina banyak mad’u atau bahkan cakap memimpin lembaga), dengan mudah ia bisa berubah banyak setelah keluar dari barisan dakwah. Tapi tentu ini tidaklah terjadi pada mereka yang konsisten mempertahankan Tarbiyah Dzatiyah dan rela berpayah-payah demi memperoleh ilmu di tengah kesibukan dan tuntutan profesi.
Namun, ini bukanlah sebuah pembenaran atas sikap pesimistis mengenai ketidakmampuan membina. Seperti yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair, “Apabila orang tidak mau melakukan amar makruf dan nahi munkar sampai dalam dirinya tak ada sesuatu (hal yang tidak baik) niscaya tidak ada seorang pun yang menjalankan amar makruf dan nahi munkar.” Artinya, salah besar jika kita menjadikan kekurangan dan kelemahan diri sebagai alasan tak mampu membina (amar makruf dan nahi munkar). Padahal pada kenyataannya, hal pertama dan utama dalam membina adalah kesediaan untuk berproses bersama dalam kebaikan, begitu yang diungkapkan oleh Cahyadi Takariawan dalam buku Menjadi Murabbiyah Sukses.
Terkadang, seorang Mutarabbi memiliki penilaian masing-masing mengenai model Murabbi yang ia sukai. Ada yang menyukai Murabbi dengan bahasa santun, lembut dan terstruktur rapi sehingga terkesan penuh wibawa, ada pula yang menyukai Murabbi yang nampak tegas dan sedikit otoriter untuk menempa ketangguhannya dalam menjalankan amanah.
Sekarang kita kembali pada pembahasan mengenai tugas Murabbi. Ya, siapa yang bisa membantu saya menyebutkan apa saja tugasnya? Bertanggung jawab sepenuhnya atas akhlaq Mutarabbi kah? Atau hanya sekedar memberi petuah setiap pekan dengan sederet tugas-tugas layaknya kuliah? Nampaknya jawabannya berada di pertengahan. Murabbi tidak bisa hanya berkomunikasi setiap bertemu saat halaqah, juga tak bisa dibebani amanah untuk mengubah kepribadian seorang Mutarabbi. Tugasnya adalah memikirkan, mengusahakan seoptimal mungkin dan memberikan keteladanan. Mengenai perkembangan akhlaq dan cara berfikir Mutarabbi, itu menjadi urusan Allah, karena Ia hanya menurunkan hidayah pada siapa saja yang Ia kehendaki. Namun tentulah hasil akan berbanding lurus dengan usaha. Tanpa usaha maksimal, mustahil hasil akan memuaskan. Tak bisa mengharapkan Mutarabbi mendapatkan nilai 8 jika Murabbi hanya bisa mendapatkan nilai 4.

Murabbi memang tak sama dan tak ada yang sempurna (kecuali Rasulullah). Akan tetapi, sekecil apapun usahanya dan model apapun yang ia tampilkan di depan para Mutarabbinya, Murabbi yang baik tak akan lupa memuat nama-nama Mutarabbi dalam setiap doa yang ia panjatkan. Mari kita belajar dari para pendahulu kita. Selain Rasulullah saw, para shahabat dan shahabiyah dan juga para Murabbi kita di era modern seperti Uztadz Rahmat Abdullah tentu bisa menjadi teladan.  Wallahu’alambishawab.

No comments:

Post a Comment