Berawal dari
obrolan iseng yang kerap kali kita dengar atau ucapkan bersama teman-teman
kita.
“Siapa Murabbi
Antum/Anti?”
“Ah, ngapain
ngasih tahu? Kasian beliau. Kelakuan ane masih unyu-unyu gini.”
Terlepas dari
perihal ke-amniyah-an, dari dialog di atas kita bisa renungkan apa yang
seharusnya menjadi tugas Murabbi. Memperbaiki akhlaq Mutarabbi kah? Sebegitu
berat ya amanah yang dipikul seseorang yang bergelar Murabbi itu?
Mari kita
telusuri!
Sebagaimana
tak ada manusia sempurna kecuali Rasulullah saw (shalawat dan salam atas
beliau), maka saya juga memberanikan diri untuk katakan, tak ada Murabbi
sempurna kecuali beliau. Oleh karena itu, saat kita memposisikan diri sebagai
Mutarabbi, bukan hal yang bisa dibenarkan apabila kita terus-menerus bercermin,
memandang kagum dan menuntut kesempurnaan dari Murabbi. Walau bagaimanapun,
Murabbi hanyalah manusia biasa yang selagi kecil hatinya tidak pernah
dibersihkan oleh malaikat Jibril hingga terpelihara dari dosa. Terlebih lagi, sebagian
besar dari kita memiliki latar belakang keluarga non-tarbiyah dan lingkungan keseharian
yang tidak support dengan dakwah.
Maka tak heran, ketika seorang aktivis dakwah kampus yang dahulunya sedemikian
luar biasa (sukses membina banyak mad’u atau bahkan cakap memimpin lembaga),
dengan mudah ia bisa berubah banyak setelah keluar dari barisan dakwah. Tapi
tentu ini tidaklah terjadi pada mereka yang konsisten mempertahankan Tarbiyah
Dzatiyah dan rela berpayah-payah demi memperoleh ilmu di tengah kesibukan dan
tuntutan profesi.
Namun, ini
bukanlah sebuah pembenaran atas sikap pesimistis mengenai ketidakmampuan
membina. Seperti yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair, “Apabila orang tidak mau
melakukan amar makruf dan nahi munkar sampai dalam dirinya tak ada sesuatu (hal
yang tidak baik) niscaya tidak ada seorang pun yang menjalankan amar makruf dan
nahi munkar.” Artinya, salah besar jika kita menjadikan kekurangan dan
kelemahan diri sebagai alasan tak mampu membina (amar makruf dan nahi munkar).
Padahal pada kenyataannya, hal pertama dan utama dalam membina adalah kesediaan
untuk berproses bersama dalam kebaikan, begitu yang diungkapkan oleh Cahyadi
Takariawan dalam buku Menjadi Murabbiyah Sukses.
Terkadang,
seorang Mutarabbi memiliki penilaian masing-masing mengenai model Murabbi yang
ia sukai. Ada yang menyukai Murabbi dengan bahasa santun, lembut dan
terstruktur rapi sehingga terkesan penuh wibawa, ada pula yang menyukai Murabbi
yang nampak tegas dan sedikit otoriter untuk menempa ketangguhannya dalam
menjalankan amanah.
Sekarang kita
kembali pada pembahasan mengenai tugas Murabbi. Ya, siapa yang bisa membantu
saya menyebutkan apa saja tugasnya? Bertanggung jawab sepenuhnya atas akhlaq
Mutarabbi kah? Atau hanya sekedar memberi petuah setiap pekan dengan sederet
tugas-tugas layaknya kuliah? Nampaknya jawabannya berada di pertengahan.
Murabbi tidak bisa hanya berkomunikasi setiap bertemu saat halaqah, juga tak
bisa dibebani amanah untuk mengubah kepribadian seorang Mutarabbi. Tugasnya
adalah memikirkan, mengusahakan seoptimal mungkin dan memberikan keteladanan.
Mengenai perkembangan akhlaq dan cara berfikir Mutarabbi, itu menjadi urusan
Allah, karena Ia hanya menurunkan hidayah pada siapa saja yang Ia kehendaki. Namun
tentulah hasil akan berbanding lurus dengan usaha. Tanpa usaha maksimal,
mustahil hasil akan memuaskan. Tak bisa mengharapkan Mutarabbi mendapatkan
nilai 8 jika Murabbi hanya bisa mendapatkan nilai 4.
Murabbi memang tak sama dan tak ada yang
sempurna (kecuali Rasulullah). Akan tetapi, sekecil apapun usahanya dan model
apapun yang ia tampilkan di depan para Mutarabbinya, Murabbi yang baik tak akan
lupa memuat nama-nama Mutarabbi dalam setiap doa yang ia panjatkan. Mari kita belajar dari para pendahulu kita. Selain Rasulullah saw, para shahabat dan shahabiyah dan juga para Murabbi kita di era modern seperti Uztadz Rahmat Abdullah tentu bisa menjadi teladan.
Wallahu’alambishawab.
No comments:
Post a Comment